SENI HIBURAN

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla : Misteri Penanggalan Dua “Superstar” Indonesia

Sang “mega bintang” (alm) Nike Ardilla. Peninggalan reputasi gemilangnya di kancah musik slow rock negeri ini, masih tetap berdaya jual. (Istimewa)
Sang “mega bintang” (alm) Nike Ardilla. Peninggalan reputasi gemilangnya di kancah musik slow rock negeri ini, masih tetap berdaya jual.
(Istimewa)

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla : Bagian 1

Oleh: Yoyo Dasriyo

Umur kemasyhuran “mega bintang” cantik belia (alm) Nike Ardilla, kenyataannya masih memanjang hingga kekinian. Pengidolaan atas primadona musik slow rock era 1990-an ini, tak berbatas kubur kepergian abadinya. Paradigma baru keartisan Indonesia seperti itu, membingkai nama Nike Ardilla dalam daftar legenda selebritis yang mengurai kisah berkepanjangan. Itu dimungkinkan terdukung, dengan agenda tradisi tahunan NAFC (Nike Ardilla Fans Club), yang memperingati penanggalan 27 Desember sebagai momentum kelahiran artis idola mereka.

Meski tidak seperti suasana peringatan kepergiannya (19 Maret 1995), namun acara mengenang kelahiran Nike, jadi pendukung di antara tiga faktor pemanjang reputasi yang tersisa dari kejayaan Nike Ardilla. Dua unsur lainnya, berupa tradisi tahunan peringatan tragedi maut sang bintang, dan derasnya daur-ulang lagu-lagu kejayaan Nike di kancah musik slow rock negeri ini. Namun siapa sangka, jika di balik tanggal 27 Desember 1975, tersimpan misteri? Saya yang kenal almarhumah sejak tahun 1987, waktu (alm) Denny Sabri menemukan potensi keartisannya, seolah tak pernah habis pikir tentang penanggalan kelahirannya.

Sepanjang ingatan saya, kelahiran R Nike Ratnadilla tercatat 28 Desember 1975. Tak tahu siapa yang salah, justru di batu nisan yang terpancang di kawasan Desa Imbanagara, Ciamis, terpahat penanggalan 27 Desember 1975. Rekan wartawan (alm) Armosad dari Mingguan “Pos Film” Jakarta pun, yang pernah bersama sibuk di balik perjalanan karier Nike Ardilla, memahami keheranan saya. “Iya ya kenapa jadi 27 Desember sih? Apa kita yang dulu salah nulis…?” Armo tertawa kecil.

Saya tak banyak banyak mengusik penanggalan itu. Terlebih, dua angka pada plat nomer sedan Honda Genio sebagai kendaraan “pengantar maut” Nike, tertulis D – 27- AK. Tanda tanya kelainan angka itu, mengusik ingatan saya pada penanggalan kelahiran “Raja Dangdut” Rhoma Irama Di awal perjumpaan saya dengan pelaku legenda musik dangdut itu, 3 September 1975 di Gedung “Sumbersari” Garut, Oma Irama menyebut 12 Desember 1946 sebagai tanggal kelahirannya. Tak tahu kenapa, belakangan kelahiran Rhoma Irama dikenal 11 Desember 1946. Sama seperti Nike, berkurang satu angka dari pendataan saya.

Uniknya, 1975 sebagai tahun kelahiran sang “mega bintang” Nike Ardilla, merupakan kesamaan momentum sukses kelahiran babak baru dunia musik dangdut Indonesia. Bersama lejitan hit lagu “Begadang”, Oma Irama dan kelompok pemusik “Soneta”, mampu membukukan sejarah sebagai pembaharu musik dangdut. Aroma musik rock diracik ke dalam musik dendang, hingga mendongkrak martabat dangdut dari kelas tidak terpandang ke kelas gedongan. Rhoma Irama dan Nike Ardilla, dua pelaku legenda keatisan yang penanggalan kelahirannya “mundur” satu angka dari catatan saya, justru sama-sama melesat sebagai “superstar” di negeri ini!

Saya biarkan perbedaan penanggalan kelahiran itu, sebagai “misteri” yang suatu saat mungkin terpecahkan. Saya harus menghormati pengakuan, 27 Desember 1975 untuk momentum kelahiran (alm) Nike Ardilla. Barangkali, saya salah mencatat, atau dulu mereka keliru berucap. Namun kesaksian sejarah mencatat, kepergian abadi gadis belia rupawan yang pernah menghentak percaturan pentas musik slow rock itu, amat memilukan insan keartisan. Minggu 19 Maret 1995, tangis lara jutaan warga memandikan bumi Desa Imbanagara, Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis.

Semua menyaksikan jasad (alm) Nike Ardilla, diusung memasuki liang lahat di areal makam keluarga besar (alm) R Gandjar Kartabrata. Mega hitam memayungi dunia keartisan negeri ini. Wajah-wajah terbalut nestapa. Ratap histeris para penggemar berat Nike, terurai berkepanjangan. Kedukaan mengharu biru. Kejutan peristiwa duka atas kepergian Nike, lalu jadi tradisi tahunan penggemar berat sang bintang yang tergabung dalam NAFC. Mereka menggelar acara mengenang Nike di Desa Imbanagara, dengan kehadiran sejumlah artis kondang.

Suasana bertabur bintang itu, tergelar hingga lima tahun pertama dari kepergian Nike. Selebihnya, tradisi tahunan kenangan duka berlangsung sederhana. Meski begitu, tak menyusutkan kecintaan para pemuja almarhumah Nike, sampai generasi kekinian. Siapa sangka pula, jika kemasyhuran Nike Ardilla akan mengental dengan nama Desa Imbanagara? Di masa kejayaan artis primadona musik slow rock itu pun, nama Imbanagara seolah tersembunyi ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *