SOSIAL POLITIK

Warga Garut Pertanyakan Transparansi dan Komitmen Dana CSR Star Energy 


Gapura Garut ,- Warga masyarakat di sekitar wilayah operasional perusahaan panas bumi Star Energi di Gunung Darajat Pasirwangi Garut, meminta perusahaan tranparan pada sejumlah hal yang selama ini dianggap disembunyikan setelah mengakuisisi eksploitasi panas bumi dari Chevron Geothermal Indonesia yang sudah hengkang.

Warga menilai setidaknya ada lima hal yang patut dipertanyakan karena sejak 1 April 2017 tidak ada lagi tranparansi bahkan dianggap tidak memiliki niat yang baik terhadap warga masyarakat dalam hal pemberdayaan.

Koordinator Masyarakat Lingkungan Panas Bumi Garut (MLPBG) Muhammad F Tijani mengatakan bahwa saat ini bayak keganjilan sehingga pihaknya mempertanyakan hal tersebut. 

“Hal yang pertamakali ingin kita ketahui adalah tentang transparansi dana CSR (Coorporate Social Responsibility) dari pihak perusahaan Star Energy,” ujarnya.

Selama ini, kata Tijani pihak perusahaan tidak pernah terbuka terkait besaran nilai CSR bagi masyarakat di tiga kecamatan, mulai Kecamatan Samarang, Pasirwangi, dan Sukaresmi.

“Pendataan awal yang kami lakukan, pihak Star Energy hanya memberikan Rp 70 juta per desa dengan jumlah desa di tiga kecamatan ada 30, jadi hanya sekitar Rp 2,1 milyar saja padahal dari CGI dulu dana CRS-nya mencapai Rp 4-5 milyar per tahun,”ungkapnya.

Menurutnya himpunan masyarakat tiga kecamatan juga mempertanyakan tentang keterlibatan para pengusaha lokal dalam kegiatan operasional perusahaan Star Energy. 

“Kelasnya Chevron saja yang perusahaan Amerika masih peduli kepada pengusaha lokal, masa ini perusahaan Indonesia tidak peduli terhadap masyarakat Indonesia, ini sangat ironi sekali,” tegasnya.

Sejak beralihnya Chevron ke Star Energy, diungkapkan Tijani banyak sekali warga yang kehilangan pekerjaan karena pihak perusahaan tidak memberikan ruang kepada pengusaha lokal. 

“biasanya jikab prosea pekerjaan diberikan kepada pengusaha lokal maka tidak sedikit warga disekitar pun akan mendapatkan pekerjaan sehingga berpenghasilan layak,”ujarnya.

Tijani mempertanyakan komitmen pengelolaan lingkungan hidup yang belum sesuai dengan kaidah konservasi dimana terjadi alih fungsi lahan dan pelanggaran undang-undang lingkungan hidup.

” Jika seorang warga mengambil kayu untuk kebutuhan kayu bakar dari kawasan konservasi bisa dipenjara, ini perusahaan besar banyak membabad pohon tapi dibiarkan. Demikian dengan penggunaan air dari BKSDA yang seperti membeda-bedakan antara kepada perusahaan dengan ke warga, sedih sekali instansi tidak pro rakyat,” jelasnya.

Tijani berharap pihak perusahaan memberikan ruang agar pemerintah daerah memiliki saham juga di Star Energy. 

“Kalau saja pihak perusahaan tidak mau mendengar, kami menuntut agar Star Energy hengkang saja dari Garut karena potensi panas bumi di Garut harus mensejahterakan masyarakat Garut, khusunya masyarakat tiga kecamatan tentu saja, bukan miskin seperti sekarang,” tegasnya.***kim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *