SOSIAL POLITIK

Soal Defisit Anggaran, Ini Kata Haryono Pengamat APBD Garut

Haryono, Peneliti dan Pengamat Anggran Kabupaten Garut, foto Istimewa
Haryono, Peneliti dan Pengamat Anggran Kabupaten Garut, foto Istimewa

Gapura Garut ,- Mantan anggota DPRD Kabupaten Garut periode 1998-2009, Haryono yang juga penelti pada Masyarakat Peduli APBD Garut (MAPAG)  menilai pemerintah pusat tidak gegabah begitu saja  dalam memutuskan menunda DAU untuk Garut dan 168 daerah lain di seluruh Indonesia.

Menurut Haryono yang melatar belakanginya  adalah kondisi APBN itu sendiri. Berbagai cara sudah dilakukan pemerintah pusat, salah satunya kebijakan tax amnesty dan lain sebagainya.

“Secara umum kondisi APBN ini tentu berdampak pada setiap daerah termasuk Kabupaten Garut,” Kata Haryono, Minggu (2/10/2016).

Haryono menggarisbawahi, bahwa besaran DAU yang ditunda di setiap daerah tidak sama rata, melainkan diperhitungkan atas dasar tiga hal, yakni kapasitas fiskal, kebutuhan belanja daerah dan sisa saldo yang tersimpan di kas daerah.

“Kabupaten Garut ini, kebutuhan belanjanya cukup besar bila dibandingkan dengan kapasitas fiskal, yakni APBD Garut sebesar Rp3,7 triliun di 2016, sementara kemampuan fiskal Garut hanya bisa menghasilkan Rp.565 miliar. Jadi celah fiskal Garut itu tinggi, yakni Rp3,2 triliun. Makanya muncul dana perimbangan dari pemerintah pusat dan provinsi,”ungkapnya.

Sementara saldo kas daerah, lanjut  Haryono, kemungkinan pemerintah pusat melihat saldo yang tersimpan cukup besar. Dari informasi yang  diterimanya, saldo dalam kas daerah per Juni lalu melebihi 50 persen dari APBD Garut sebesar 3,7 triliun.

“Pada tiga hari setelah DAU resmi ditunda, saya baca keterangan seorang pejabat di DPPKA Garut (Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset), yang menyatakan bahwa hingga Juni penyerapan baru belanja langsung dan tak langsung baru 42,24 persen. Artinya sisa pencairan untuk empat bulan ke depan (September-Desember) sebenarnya masih relatif besar. Harusnya segera keluarkan, kalau pun kurang, berapa kurangnya,” Paparnya

Terkait persoalan terebut, Haryono meminta DPRD Kabupaten Garut dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa posisi kas daerah Kabupaten Garut. Semua ini tegas Haryono merupakan bukti dari karut marutnya sistem tata kelola keuangan daerah di Garut.

“Setiap akhir tahun selalu ada silpa, setiap pertengahan tahun ada keterlambatan pencairan. Contohnya, pada 2013-2014 anggaran yang tidak tercairkan hingga akhir 2014 jumlahnya mencapai Rp300 miliar. Lalu loncat ke 2015, anggaran yang tak tercairkan hingga akhir 2015 menjadi Rp46 miliar, lalu ke 2016. Ini ada apa, kenapa setiap tahun begitu terus?” tanyanya.

Dirinya juga menyesalkan Pemkab Garut tidak terbuka mengenai adanya dana yang didepositokan. Selama ini, ungkap Haryono, publik tidak mengetahui berapa dana yang didepositokan, dan berapa besaran bunga depositonya.

“Soal deposito ini kembali mencuat, pada 19 September 2016 saat Sidang Paripurna DPRD Garut sehari sebelum bencana, dana deposito masuk dalam pendapatan lain-lain yang sah, disebut dalam nota pengantar KUA (Kebijakan Umum Anggaran) Perubahan PPAS (Prioritas Plafond Anggaran Sementara) Tahun Anggaran 2016. Nah berapa dana deposito dan berapa bunganya, di mana deposito ini di simpan, itu sampai sekarang belum ada jawaban yang pas,” ungkapnya.

Haryono mengingatkan semestinya pemerintah Kabupaten Garut segera menghentikan deposito dan berhenti memikirkan bunga deposito di saat seperti ini.

“Hentikan deposito. Lebih baik itu dana deposito digunakan untuk membiayai pembangunan,” ujarnya.

Haryono menyebutkan, pemerintah daerah sendiri sebenarnya diperbolehkan untuk mendepositokan dana, merujuk pada PP No 39 Tahun 2007 tentang investasi jangka pendek. “Namun aturan tersebut merujuk bila situasi keuangan surplus. Sementara saat ini kan defisit,”Pungkasnya.***Bro

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *