SOSIAL POLITIK

Cerita Kampung TKW di Garut Gak Ada Matinya

DSC_0070

Gapura Garut ,-  Cerita panjang masih belum cukup untuk menggambarkan kisah-kisah dibalik julukan Kampung TKW di Desa Cigadog Kecamatan Sucinaraja, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Selain isteri kepala desa yang pernah menjadi TKW, pengalaman yang sama juga pernah dilakoni oleh dua orang guru di Kampung Cigadog, Desa Cigadog, kecamatan Sucinaraja Garut, tersebut.

Salah satu guru yang kini berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS), Euis Dedeh Karmanah (48), mengaku pernah menjadi buruh migran di Timur Tengah selama dua tahun, yakni pada tahun 1987 hingga 1989.

Guru dari SDN Cigadog 1 ini menuturkan kisah keberangkatannya saat nekad  menjadi  TKW. Niat itu ia lakoni selepas lulus dari SMA. Sama seperti kaum perempuan di kampungnya, motif Euis menjadi TKW disebabkan karena ingin membantu meringankan perekonomian keluarga.

“Waktu baru lulus SMA, saya belum memikirkan untuk mencari pekerjaan apa. Yang terpikir adalah bagaimana bisa membantu ekonomi keluarga. Makanya saya pun memutuskan untuk pergi ke Arab Saudi untuk bekerja menjadi TKW,” kata Euis saat ditemui baru-baru ini.

Euis sendiri mengaku tidak memiliki bekal apa-apa yang dijadikannya sebagai modal sebagai asisten rumah tangga. Kemampuan bahasa Arabnya nol hingga detik dirinya meninggalkan kampung kelahirannya.

“Karena bahasa Arab itu nanti diberikan saat pelatihan di perusahaan penyalur. Selama satu bulan saat itu saya belajar mengenai bahasa, budaya, kebiasaan, dan lainnya,” ungapnya.

Meski tidak semua dari bahasa arab yang telah dia pelajari dapat digunakan saat ia mulai bekerja, ternyata dalam berkomunikasi dengan majikannya sehari-hari malah banyak hal-hal baru yang justru menjadi pengalaman barunya.

Adakalnya, sekal-kali kendala bahasa tersebut harus membuat kesalahpahaman meski tidak sampai berbuntut panjang apalagi sampai mengakibatkan hal yang fatal. dirinya selalu segera dapat memperbaikinya.

“Bahasa yang dipelajari sewaktu masih di pelatihan itu bahasa-bahasa Arab yang sifatnya umum. Sebenarnya masih ada lagi bahasa lain yang belum bisa saya mengerti. Tapi tidak pernah sampai menyebabkan majikan marah karena apa yang disuruh dapat saya mengerti melalui gerak tubuh dari majikan. Seiring waktu berjalan, saya pun lambat laun mengerti dan bisa bahasa Arab ketika itu,” paparnya.

Selama di Arab, tepatnya di Riyadh, gajinya per bulan hanyalah sekitar Rp300 ribu atau sebesar 600 riyal.

“Gaji saya cuma sekitar Rp300 ribuan. Dulu kan dollar masih di bawah Rp2.000. Mata uang riyal juga masih rendah bila dikonversi ke rupiah,” ujarnya.

Sepulang ke Indonesia, Euis memutuskan tidak akan berangkat ke Arab Saudi lagi. Karena niat untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi telah dia rencanakan saat masih bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

“Saya tidak ingin ke Arab itu bukannya kapok. Saya hanya sudah berniat untuk melanjutkan pendidikan saja ke yang lebih tinggi. Waktu itu, tak lama setelah pulang, saya mulai mengajar anak-anak SD. Alhamdulillah ada biaya untuk saya kuliah D 2. Aktivitas mengajar ini berlanjut hingga pada tahun 2000 saya diangkat menjadi PNS. Setelah PNS, saya kembali kuliah mengambil S 1 di bidang Pendidikan Agama Islam,” tuturnya.

Euis sendiri mengaku pengalaman hidup sebagai TKW akan selalu membekas di ingatannya.

“Namun kalau berbicara soal bahasa Arab, sebagian besarnnya sudah lupa karena tidak pernah lagi mempraktekannya,” Pungkasnya.***TG

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *