SOSIAL POLITIK

Kampung TKW di Garut, Mulai Warga Hingga Istri Kades Jadi TKW

DSC_0070

Gapura Garut ,- Julukan Kampung TKW  (Tenaga Kerja Wanita) sepertinya tepat jika dialamatkan untuk kampung Cigadog, Desa Cigadog, Kecamatan Sucinaraja Kabupaten Garut, Jawa Barat. Dikampung tersebut hampir seluruh warganya terutama kaum perempuan pernah merasakan menjadi TKW disejumlah negara, terutama di negara-negara Timur Tengah.

“Disini banyak sekali, hampir semua  warga kami anggota keluarganya pernah berangkat menjadi TKW”. Kata Ayud Sukaedi kepala Desa Cigadog, Rabu (5/11/2014) saat mengawali perbincangan dikantornya.

Menurutnya, bagi warga Cigadog berangkat menjadi TKW atau Tenaga Kerja diluar negeri adalah pilihan disaat kampung halaman mereka tidak lagi dapat memberikan penghidupan yang cukup untuk memenuhi berbagai kebutuuhan hidup sehari-hari.

“Penyebabnya mereka berangkat jadi TKW karena tuntutan ekonomi saja, karena memang desa kami termasuk daerah yang ttidak memiliki banyak potensi penghasilan kecuali dari buru tani atau memang bertani bagi yang memiliki lahan”. Ugkapnya.

Ayus menambahkan, pilihan bekerja di luar negeri setidaknya telah membudaya di desanya sejak era tahun 80-an.

“Jumlah penduduk yang menjadi TKW atau TKI berkembang semakin pesat di tahun 90-an hingga akhir 2010. Meski saat ini penduduk yang bekerja ke luar negeri mulai menyusut, jumlahnya tetap terbilang banyak. Setidaknya ada sekitar 200 orang yang masih bekerja di luar negeri,” katanya.

Kampung yang berjarak sekitar 15 km dari pusat Kota Kabupaten Garut tersebut memang berada di pelosok dengan ketinggian lebih dari 1.000 mdpl. Terletak disebuah perbukitan dengan dominasi sebagian besar lahannya berupa areal pertanian yang dibuat secara berundak. Tanaman palawija hingga sayur-sayuran berupa kol dan lainnya tertanam subur di wilayah berpenduduk 6000 jiwa, atau sekitar 1.557 kepala keluarga (KK) ini.

Jika menyusuri menggunakan kendaraan roda empat ataupun roda dua harus ekstra hati-hati karena terdapat banyak tanjakan disertai tikungan tajam sebelum bisa memasuki wilayah desa yang bebatasan langsung dengan Desa Parentas, Kecamatan Cigalontang, Tasikmalaya ini.

Barisan bukit yang telah ditumbuhi komoditas sayur mayur tampak berjajar sebelum akhirnya rumah-rumah penduduk mulai ditemui. Seperti  kebanyakan perkampungan yang ada dipelosok daerah kita selalu saja bermasalah dengan infrastruktur fisik dari mulai tata letak rumah warga, jalan lingkungan, hingga sarana umum seperti lapangan olah raga dan sekolah tampak normal seperti biasa, namun semuanya dalam kondisi kurang terawat baik.

Dikampung ini tentu saja akan lebih banyak menjumpai kaum laki-laki karena sebagian kaum perempuannya sedang berada diluar negeri menjadi TKW dengan kontrak rata-rata selama dua tahun. Jika sedang tidak ada pekerjaan, kaum laki-laki dikampung ini terutama menjelang sore hari akan mudah dijumpai. Sebagian diantara para pria yang tidak mengerjakan aktivitas bertani, memilih duduk-duduk di beranda atau halaman rumahnya.
Ada juga mengawasi dan mengurusi anak-anak yang masih kecil-kecil.

Yaa…Mereka adalah para suami yang tengah ditinggal isteri bekerja ke luar negeri sebagai TKW. Sejumlah negara di kawasan Timur Tengah dan Asia Tenggara, tercatat sebagai negara tempat dimana kaum wanita di kampung ini bekerja.

“Meski demikian bukan berarti hanya penduduk wanita saja yang bekerja di luar negeri. Ada juga beberapa penduduk pria yang juga ikut bekerja di luar negeri. Namun jika dirata-ratakan, jumlah penduduk wanita yang bekerja di luar negeri lebih banyak,” Kepala Desa Cigadog, Ayud Sukaedi, kembali memberikan klarifikasinya.

Ayud menyebut beberapa negara seperti Arab Saudi, Oman, Qatar, Yordania, UEA dan beberapa negara kawasan Timur Tengah lebih diminati penduduk wanita di desanya. Sementara para pria yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), rata-rata hanya membidik negara-negara Asia seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Korea.

“Penduduk wanita di desa kami juga ada yang bekerja di sejumlah negara Asia. Cuma jumlahnya sangat sedikit, kebanyakan pria. Itu juga bekerja di sektor perkebunan, jasa, buruh pabrik, dan menjadi pelayan toko. Paling banyak sektor perkebunan dan sedikit industri,” ujarnya.

Menurut Ayud, tidak diperlukan persyaratan khusus untuk menjadi seorang TKW dan TKI. Latar belakang pendidikan pun tidak diperlukan bagi mereka yang ingin bekerja di sektor jasa rumah tangga atau buruh perkebunan.

“Hanya cukup foto kopi KTP, foto kopi Kartu Keluarga (KK), surat izin suami atau isteri, dan surat izin orang tua. Itu saja,” sebutnya.

Sementara untuk bekal pendidikan bahasa yang akan digunakan, sambung Ayud, akan disediakan pelatihan oleh perusahaan penyalur.

“Tidak ada modal uang. Tidak diperlukan. Karena siapapun yang akan diberangkatkan sebagai TKW atau TKI, akan dijemput langsung oleh perusahaan penyalur. Malah jika mereka yang lulus tes kesehatan di Jakarta itu akan diberi uang tunai sebesar Rp5 juta,” paparnya.

Saking membudayanya bekerja di luar negeri, ungkap Ayud, beberapa keluarga dari kalangan penduduk Cigadog pernah merasakan bagaimana menjadi seorang TKW atau TKI.

“Ada beberapa keluarga, dimulai dari ibunya, anak pertamanya, anak keduanya, bahkan anggota keluarganya yang lain pernah jadi TKW. Penyebabnya sederhana, karena para majikan mereka merasa sudah percaya dengan seseorang dianggota keluarganya. Oleh karena itulah, bila ibunya berhenti bekerja menjadi TKW, selalu digantikan oleh anaknya. Begitu seterusnya,” ungkapnya

Ayud juga mengatakan, istrinya sendiri saat dirinya belum menjabat sebagai Kepala Desa pernah berangkat menjadi TKW selama dua tahun.

“Istri saya juga dulu pernah menjadi TKW, dan hikmahnya alhamdulillah hingga saat ini jika ada persoalan terkait dengan warganya yang menjadi TKW dan bermasalah dengan majikannya. misalnya telat membayar gaji, atau tidak diijinkan pulang biasanya, istri saya yang bantu menghubungi pihak majikan yang bersangkutan dan behasil dibantu komunikasi”. Jelasnya. ***jmb

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *