SENI HIBURAN

Jelang Hari Film Nasional 2015: Pembelajaran Yang Tak Pernah Selesai

Kebersamaan di lokasi syuting sinetron “Titian Cita” (2001) di Bogor.  Kedua dari kanan sutradara H Encep Masduki (bertopi putih), dan kedua dari kiri Anton Sami’at. (Foto: Ipung Karno’s)
Kebersamaan di lokasi syuting sinetron “Titian Cita” (2001) di Bogor. Kedua dari kanan sutradara H Encep Masduki (bertopi putih), dan kedua dari kiri Anton Sami’at. (Foto: Ipung Karno’s)

Jelang Hari Film Nasional 2015: Bagian (11 ) Habis

Oleh Yoyo Dasriyo

PENGADAAN kostum yang pas, acapkali jadi persoalan. Baik dari motif, model, warna hingga ukurannya. Itu sebabnya, saya terbiasa mengoleksi kostum, yang suatu saat mungkin bakal dibutujkan dalam sebuah produksi. Kain tradisional “iket”, kampret dan sarung warna gelap, yang pernah digunakan dalam syuting lakon tradisional “Tragedi Bagendit” (1989), terbukti dibutuhkan lagi waktu syuting “Tamu-Tamu Malam” (2001).

Peci hitam dan kain sarung lusuh tersimpan di lemari, selepas berperan sebagai “Mang Suwita” di sinetron “Impian Pengantin (1993), yang memenuhi kebutuhan tampil lagi dalam lakon “Badai Dalam Rumah”, “Impian Pengantin 2”, “Titian Cita”, hingga “Stasiun Cinta” (2011). Bahkan, beberapa kaos, kemeja, celana panjang, dan proferty, semasa akrab dengan (alm) Nike Ardilla, masih disimpan untuk memudahkan keaslian kostum dalam film biografi sang bintang itu.

Kenyamanan berkostum, sangat mendukung jiwa pemeranan. Itu yang pernah hilang, waktu saya berperan di sinetron “Usaha Gawat Darurat” di depan Museum Gajah Jakarta (2002). Siang itu, tidak tersedia ukuran kaos dan celana panjang yang pas di bagian kostumnya. Resikonya, saya sulit berdiri di depan kamera, karena celananya seringkali melorot…! Saya merasa perlu mengoleksi kostum lusuh, karena selama ini sering berperan sebagai figur masyarakat kelas bawah. Kostum lusuh semacam itu, tak gampang ditemukan.

Petugas jaga pintu KA di Cibatu, Garut, keheranan, memandangi pakaian dinas pemeran “Mang Jaka” dalam FTV “Stasiun Cinta”. “Dari mana bapak bisa punya pakaian seragam zaman DKA?” tanyanya. “Dulu memang begitu seragamnya, Pak!” Petugas itu membenarkan. \Di luar dugaan, saya terpilih menjadi penulis skenario FTV, sekaligus pemeran dalam “Stasiun Cinta” garapan Wawan Hermawan di Garut. Sebuah peristiwa unik terjadi saat syuting film televisi itu.

Syuting hari terakhir itu, semua adegan “Mang Jaka” harus selesai. Saya tak ingat lagi jumlah scene, yang harus saya mainkan. Beberapa dialog pun terlupa. Saya tertegun, karena scena “Mang Jaka serasa tak pernah selesai. Rupanya, adegan di lokasi pos jaga pintu lintasan KA itu terhitung banyak. Selalu saya ingat, saya bukan aktor! Namun saya bangga dan bersyukur, karena pernah dipercaya memainkan peranan di sejumlah film.sinetron dan FTV.

Pekan depan, dijadwalkan pula mendukung FTV “Hidayah Untuk Suami Tercinta” di Garut.
Terimakasih saya atas kepercayaan Pak Diky Chandra dan Bu Rani Permata, yang membawa saya gabung dengan produksi film televisinya. Saya belum kenal karakter perannya. Namun, yakin perannya pantas untuk sosok dan kemampuan saya. Lebih penting lagi, itu peluang baru untuk belajar. Pergantian suasana dan produksi, sebenarnya ruang pembelajaran berperan untuk lebih baik. Saya harus selalu belajar dari kesalahan sendiri dan orang lain di lokasi syuting.

Meski modal hanya otodidak, dan “berani tampil jelek”, saya menyukai seni peran di depan kamera. Film demi film yang saya perani,bukan berarti saya ketagihan. Justru karena keinginan untuk bisa tampil lebih baik, dari film terdahulu. Saya tak pernah percaya seseorang tak bsa berakting, karena dalam keseharian pun akting itu bagian dari kehidupan. Saya temukan metoda, permainan ekspresi itu terlahir dari pengusaan dalam menjinakkan bangunan dialog.

Harus juga selalu dipahami, kekurangan seseorang itu, kelebihan yang perlu disyukuri. Kalau saja saya berwajah ganteng dan bertubuh tegap, tidak mungkin dipercaya berlakon penting seperti “Marjiman”, atau “Mang Suwita”. Perjalanan panjang main film, dari kelas “sekilas wajah, saya jalani tanpa ambisi jadi bintang! Kebersamaan sebagai pemain dalam produksi film maupun sinetron, menjalinkan kedekatan untuk kelangsungan profesi kewartawanan. Tak pernah terpikirkan, ternyata saya harus berani membuat keputusan menolak peranan, hingga nekad minggat dari lokasi syuting.

Siapa sangka, tahun 1996 pernah menolak tampil sebagai sutradara, sinetron “Siapa Suruh Senyum Sendiri”. Saya hanya mengembangkan hobi. Dunia film bukan profesi utama saya. Aktris film Mieke Widjaya pernah mengingatkan, dunia film penuh candu. Sekali orang bermain film, akan selalu ketagihan. Katanya pula, main film jangan dimulai, kalau tidak mau ketagihan. Saya menepis pendapat Mieke. Bagi saya, kelangsungan main film berarti kesempatan belajar untuk bisa tampil lebih baik. Pembelajaran yang tak pernah selesai… ***

(Habis)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *