SENI HIBURAN

Terlupakan di Hari Pers Nasional: Sutradara Film Berlatar Wartawan

Aktris cilik Dewi Rosaria Indah dan aktor (alm) Arman Effendy, dalam adegan film “Deru Campur Debu” karya (alm) Mardaly Syarief, mantan wartawan SKM “Purnama”. (Dokumentasi: Yodaz)
Aktris cilik Dewi Rosaria Indah dan aktor (alm) Arman Effendy, dalam adegan film “Deru Campur Debu” karya (alm) Mardaly Syarief, mantan wartawan SKM “Purnama”.
(Dokumentasi: Yodaz)

Terlupakan di Hari Pers Nasional: Bagian (3)

Oleh Yoyo Dasriyo

SUTRADARA Arizal pun pembuat film laga “Membakar Matahari”, “Jaka Sembung Dan Bergola Ijo” maupun “Segi Tiga Emas”. Lebih spesifik lagi, Arizal dikenal sebagai sutradara tercepat dalam mengerjakan filmnya. Sungguhpun begitu, tak semua mantan wartawan sukses jadi sutradara film komersial. Jauh sebelum membuat film “Kafir” dan “Peti Mati”, (alm) Mardali Syarief belum beruntung dalam beberapa filmnya terdahulu.

Dalam kejayaan perfilman masa silam, sejumlah film karya mantan wartawan SKM “Purnama” itu mengalir, seperti.“Deru Campur Debu”, “Ayah Tiriku Ibu Tirimu”, “Bibir-Bibir Bergincu”, “Mereka Memang Ada”, maupun “Dari Pintu Ke Pintu”. Karya filmnya menjanjikan perwajahan lain dari film nasional. Di balik itu, Mardaly terhitung mantap dalam kapasitas pemeran. Senasib Mardaly,tercatat pula (alm) Chaidir Rachman, (alm) Motinggo Boesje, Bazar Kadarjono serta H.Usman Effendy.

Karya film mereka belum sukses dalam takaran komersial! Kejuangan (alm) Boesje wartawan Majalah “Caraka” dan “Aneka Minang”, yang kondang sebagai novelis panas, ditandai dengan film “Biarkan Musim Berganti”. Potensi Boesje sebagai sutradara film, mulai dipujikan dengan film “Cintaku Jauh Di Pulau” dan “Tak Kan Kulepaskan”. Karya Bz Kadarjono sedikit lebih beruntung dengan film “Cincin Berdarah”, yang merebut selera pasar film mistik.

Usman Effendy dengan filmnya “Cinta Anissa, masih sulit memenangkan persaingan, di tengah arus film-film panas! Memang, faktor keberuntungan tak bisa dihitung secara matematik. Selera penonton pun dianggap membingungkan! Kelesuan pasar menyergap pula film laga “Angkara Murka” karya Chaidir Rachman, mantan wartawan Mingguan “Bumi Artis” dan Majalah “Film”. Film karya mantan Ketua PWI Jaya Seksi Film itu, memang lemah dalam pengemasan teknis filmnya.

Apapun kenyataannya, sedikit film garapan sutradara berdarah wartawan, yang bernasib murung di pasar film. Tentu lebih melegakan lagi, pergulatan insan pers di dunia penyutradaraan film, terbukti tidak semusim lalu. Banyak wartawan mampu dan eksis menunjukkan prestasinya, sebagai sutradara film maupun sinetron. Mereka bukan sebatas pandai mengkritik film! Saat iklim perfilman berganti musim industri sinetron, Arizal, Ismail Soebardjo, Bz Kadarjono serta Ida Farida masih berdaya mengibarkan profesinya.

Gaya khas Arizal berkomedi, sukses menghadirkan sinetron “Gara-Gara”, “Jin Dan Jun” serta “Tuyul Dan Mbak Yul”. Sebuah kebanggaan tersendiri, manakala wartawati pun berani tampil sebagai sutradara film. Ida Farida menjadi wanita sutradara film keempat di Indonesia, setelah (alm) Ratna Asmara, (alm) Sofia WD dan (alm) Chitra Dewi..Film ”Guruku Cantik Sekali” (1980), pembuka karier Ida Farida di ladang sutradara film, menjadi pembangkit pamor Lenny Marlina.

Karya filmnya dipujikan sejak film “Busana Dalam Mimpi”, yang menjaringkan (alm) Marlia Hardi ke peringkat nominasi aktris terbaik FFI 1981-Surabaya. Ida Farida pula sutradara pertama pengorbit Meriam Bellina di film “Perawan-Perawan” (1981), Puncak karier Ida dicapai dengan film “Semua Sayang Kamu”.

Neno Warisman dan Eeng Saptahadi pemeran utama filmnya, melejit sebagai nominasi aktor/aktris terbaik. FFI 1989 Jakarta. ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *