SENI HIBURAN

Menapak Jejak Rhoma Irama: Pencekalan Menjerat Dua Dunia

Rhoma Irama, Yoyo Dasriyo dan Rica Rachim (1985). Perjumpaan suatu pagi di Hotel “Paseban” Garut, setelah enam tahun tak pernah bertemu. (Foo: Drs H Wawan Djuwarna)
Rhoma Irama, Yoyo Dasriyo dan Rica Rachim (1985). Perjumpaan suatu pagi di Hotel “Paseban” Garut, setelah enam tahun tak pernah bertemu.
(Foo: Drs H Wawan Djuwarna)

Menapak Jejak Rhoma Irama: Bagian  (25)

Oleh: Yoyo Dasriyo

RHOMA Irama seumpama satria bergitar. Tiada lelah berkelana di percaturan kancah musik dangdut pujian negeri ini. Denting gitar tua dalam “Soneta Grup”-nya, bukan untuk memanjakan suasana begadang dengan main judi, yang terbuai nyanyian syetan. Haram, kata hukum agama! Ternyata dendang lagu dan musik Soneta, tidak hanya menembang melodi cinta, yang mendenyutkan darah muda. Namun, lebih terhormat lagi, karena kobar semangat Rhoma dengan nada dan dakwah di pentas hiburan, jadi perjuangan dan doa dalam menebar syiar Islam, menegakkan pencitraan dangdut.

Kegagalan cinta tokoh “Rhoma” dan “Ani”, mungkin bukan hanya sebatas lakon dalam film. Di alam nyata, Rhoma Irama pun berpisah dengan (alm) Veronica. Saya hanya dengar kabar perceraian itu, dalam rentang perpisahan lama. Terkabar kemudian, mantan isteri “Raja Dangdut” yang pernah dikenal jadi “primadona” grup band wanita “The Beach Girls” itu berpulang ke alam keabadian. Begitu panjang rangkaian peristiwa hangat ke permukaan, yang mewarnai eksistensi dan keteguhan prinsip Rhoma Irama.

Tetapi tak ada orang tahu, pencekalan yang pernah menjerat kelangsungan profesi itu, sebenarnya bukan hanya untuk penampilan Rhoma dan Soneta Grup di layar TVRI Pusat. Tidak pula hanya pelarangan edar lagu “Rupiah” di masa kekuasaan pemerintah Orde Baru. Aliran karya tulis dalam profesi saya tentang Rhoma Irama pun, pernah “dicekal” di suratkabar harian terbitan Jakarta, yang tampil berbeda haluan. Dalam kehangatan suhu politik, jelang Pemilu 1982, redaktur hiburan memanggil saya.

Siang itu di kantor Redaksi Harian Umum “Suara Karya”, SM Asi Siregar, meminta saya yang dinilai seringkali menulis Rhoma Irama, agar mau memahami pergolakan politik di antara tiga parpol besar kontestan Pemilu: Golkar, PPP dan PDI. Saat ketiga parpol itu berkibar, Rhoma Irama diketahui gabung dengan PPP, kubu parpol berlambang Ka’bah pimpinan H DJ Naro. Sampai batas waktu yang belum ditentukan, saya diingatkan untuk tidak menulis kegiatan Rhoma Irama di media cetak itu.

“Sampai kapan, ‘Pak.?” Saya tertegun. Redaktur film dan musik yang simpatik itu hanya bergeleng kepala. “Ya itu kebijakan pimpinan. Saya juga belum tahu..” balasnya sambil tersenyum. Saya harus tahu diri. Suratkabar berlambang pohon beringin, tempat saya bekerja itu, berseberangan politik dengan kubu parpol yang didukung Rhoma. Walau begitu, masih banyak jalan menuju Roma. “Dicekal” di “Suara Karya”, tidak berarti saya berhenti menulis “Raja Dangdut” itu. Banyak tulisan tentang Rhoma Irama, saya alirkan ke beberapa media cetak independen.

Tulisan saya dimuat di Harian “Sinar Harapan”, Majalah “Violeta” Jakarta, dan Harian Umum “Pikiran Rakyat” Bandung. Sungguhpun begitu, media Suara Karya edisi Minggu (SKM), banyak berperan menguatkan promosi Rhoma Irama. Di media itu, bukan saja memuat laporan pergelaran “Soneta Grup”,namun membuka lembaran untuk kupasan resensi film-film Rhoma Irama. Panjang lebar. Sekian lama saya menanggung rindu menulis Rhoma di media itu. Terlebih, karena peredaran “Suara Karya” terhitung luas hingga ke perairan Kualalumpur.

Rindu itu menggalau, manakala di putaran tahun 1985, pentas musik “Soneta” kembali berlaga di Stadion “Jayaraga” Garut. Rhoma pun sudah menyunting Rica Rachim, yang saya kenal sebagai pemain film. Saya hanya memburu perjumpaan keesokan harinya, di Hotel ”Paseban”. “Masih ingat saya, Kang Haji…?” Rhoma tertawa sambil manggut dan melingkarkan tangannya ke pundak saya. Lalu memperkenalkan Rica Rachim. “Bagaimana…? Semalam sempat nonton juga..?” tanya Rhoma. Saya bermohon maaf. Tak sempat menyaksikan pentas dangdut Soneta. “Elvy sukses juga di Garut?” tanya Rhoma lagi. Saya bilang, masih disambut penggemarnya. Rhoma kembali tersenyum.

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *