SENI HIBURAN

Menapak Jejak Rhoma Irama : Mengusir Kerikil Di Malam Terakhir

Rita Sugiarto dan Yoyo Dasriyo. Lewat tengah malam di Hotel “Priangan”, Tasikmalaya (1979). Perjumpaan sekilas, selepas sukses pergelaran “Soneta Grup”. (Foto: alm Ade Kostaman).
Rita Sugiarto dan Yoyo Dasriyo. Lewat tengah malam di Hotel “Priangan”, Tasikmalaya (1979). Perjumpaan sekilas, selepas sukses pergelaran “Soneta Grup”.
(Foto: alm Ade Kostaman).

Menapak Jejak Rhoma Irama : Bagian (21)

Oleh: Yoyo Dasriyo

SERINGKALI Rhoma Irama tampil jadi jagoan dalam film-filmnya. “Apa iya.? Saya pikir itu untuk memberi gambaran saja, bahwa kebenaran selamanya ada di atas kebatilan” jawabnya taktis. Saya mengaku pernah heran, waktu nonton film “Berkelana”. Rhoma mengingatkan pencopet, meminta itu lebih mulia dari pada mencuri. Adegan lainnya, justru Rhoma yang mencuri tas Ani. Kenapa? Lagi-lagi Rhoma tertawa kecil.

“Nah itu hukumnya sama dengan makan daging babi! Di dalam hadist juga disebutkan, dihalalkan makan daging babi jika suasananya memang meminta. Dalam film juga, Rhoma mencuri tas karena terpaksa, untuk mencari biaya pengobatan temannya, yang hampir menemui kematian” tangkisnya pasti. Ketika dibincang tentang musik “Soneta” dalam film Rhoma, yang belum menguatkan karakteristik filmnya, sesaat Rhoma Irama terdiam Tak lama, Rhoma mengaku berterus terang.

”Secara filmis, seharusnya tidak terjadi seperti itu. Tapi karena saya main film ini membawa misi musik dangdut dan syiar Islam, saya terpaksa harus mengalah dari segi filmisnya. Terus terang.untuk segi filmisnya, film saya belum bisa bicara apa-apa deh.” Rhoma tersenyum kecil. Sepi kian menjajah malam. Suasana di Hotel “Priangan” larut ke dalam sunyi. Saya mengunci perbincangan yang makin melebar dan menghangat. Segera saya minta Rhoma untuk berfoto. Gantian dengan rekan Ade Kostaman.

“Kalau nggak terlalu malam, saya mau ketemu Rita Sugiarto! Sebentar saja, tapi mungkin sudah tidur,..” kata saya sebelum pamit. Rhoma berbaik hati, dan memahami hasrat saya. “Mau ketemu Rita? Boleh.., sebentar saya panggil dia!” sambutnya sambil bergegas masuk ke dalam ruangan hotel. Sesaat saja, Rita yang sudah bergaun tidur, muncul mengumbar senyum. Rhoma menyaksikan perjumpaan itu dari kejauhan. Lewat tengah malam seperti itu, memang risi berbincang panjang dengan artis wanita. Saya pun hanya menyempatkan berfoto saja, lalu bergegas pamitan.

Ayunan sepatu menuruni tangga loteng, terdengar memecah kesepian hotel. Kota Tasikmalaya kian lelap tertidur, dalam peluk kesenyapan malam.. Gaung Vespa seolah mengalun lirih. Iramanya mengetuk-ngetuk kebisuan alam, yang tersekap suasana lewat tengah malam. Terkadang angin dini hari bertiup kencang. Merusak penampilan. Angina yang nakal, dibiarkan menampar-nampar wajah. Kondisi itu tak memadamkan gairah yang masih berbunga-bunga.

Betapapun, membelah lautan manusia di Tasikmalaya, hingga lolos dari penjagaan dan kawalan ketat untuk memburu Raja Dangdut, memagut harga kemenangan profesi yang tidak ternilai. Seumpama sukses dari perjuangan mengusir kerikil rintangan. Terlebih, karena di luar waktu bertamu di hotel itu, Rhoma Irama dan Rita Sugiarto masih komunikatif. Kehangatan sikap mereka, memanjangkan kedalaman cerita, tentang kedekatan yang pernah terjalin.

Malam itu saya menginap di rumah Ade Kostaman. Rumah tinggal rekan wartawan itu, di sebuah pemukiman penduduk, yang terlanjur larut ke dalam keremangan ingatan. Tak tahu pasti. Entah di kawasan mana! Enam tahun sudah, roda waktu terus bergulir. Saya tak pernah lagi jumpa Rhoma Irama. Tokoh pembaharu musik dangdut itu makin meneguhkan dominasinya di kancah musik negeri ini. Banyak dugaan dari sobat dekat, bahwa saya terbiasa bertandang ke rumah kediaman Rhoma Irama. Bisa dipahami, jika mereka bertanya tentang layanan sikap Raja Dangdut. Masihkah Rhoma menaruh hormat atas kilasan romantika kebersamaan di hari-hari kemarin itu..? Saya memilih diam sesaat. Pertanyaan semacam itu, saya biarkan berlalu… ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *