SENI HIBURAN

MenapakJejak Rhoma Irama : Shalat Isya Berjamaah Bersama “Soneta”

Aksi pentas Raja Dangdut Rhoma Irama, disambut gegap gempita di Sumedang. Padahal waktu pawai artis di perkotaan, sunyi dari sambutan massa.  (Foto: Yoyo Dasriyo)
Aksi pentas Raja Dangdut Rhoma Irama, disambut gegap gempita di Sumedang. Padahal waktu pawai artis di perkotaan, sunyi dari sambutan massa.
(Foto: Yoyo Dasriyo)

MenapakJejak Rhoma Irama : Bagian (11)

Oleh: Yoyo Dasriyo

SAYA minta, semua foto itu harus selesai setengah jam, sebelum waktu Maghrib, agar Rhoma bisa melihat dulu hasil foto shownya. “Mas, boleh dong lihat foto-fotonya..? Ada yang sudah dicetak? Ada saya ‘nggak…?” sambut Hadi pemain suling sambil tertawa, sepulang dari studio foto. Saya bilang, semua foto sedang diproses. Lokasinya tak jauh dari lokasi hotel. Rupanya Hadi tak sabar. Pemain suling yang selalu tampil beda di panggung musiknya ini, semangat mengajak saya bersama ke tempat proses foto.

“Saya mau lihat-lihat dulu foto-fotonya, sebelum masuk majalah.” Hadi tertawa akrab. Saya berdua Hadi naik becak menyusuri wajah perkotaan Sumedang. Hadi tak perduli, beberapa orang mengenali sosoknya. Memang, Hadi jadi bagian dari pesona pentas “Soneta”. Tiupan sulingnya memiliki karakteristik kuat. Dalam kesenduan lagu Rhoma Irama dan Rita Sugiarto, alunan sulingnya merawankan sukma. Sebaliknya dalam lagu ceria, aksi tiupan sulingnya jadi bumbu penyedap irama joget.

Tiba di depan studio foto, Hadi bergegas membayar jasa tukang becak. Bahkan pemain suling ini berbaik hati, menanggung pula ongkos cuci-cetak foto. Saya lalu dibawanya mampir ke rumah makan “Bandung”, hanya untuk sekedar minum kopi dan merokok. Hadi ceria dan asyik membuka sejumlah foto, yang baru selesai dicetak. Peniup suling yang atraktif di pentas ini, mendahului Rhoma Irama dan pemusik “Soneta” lainnya untuk melihat foto-fotonya, lalu minta beberapa lembar foto, setelah semua foto dilihat Rhoma di hotel.

Selepas Shalat Maghrib, Rhoma Irama memilih foto-foto aksi pentas “Soneta” di Garut itu. “Bagus-bagus ‘ya…! Bisa saya minta cetak lagi untuk dibagikan sama penggemar?” tanyanya sambil menunjukkan beberapa lembar foto pilihannya. “Boleh..! Insya Allah saya cetak lagi nanti. Berapa banyak, Kang Haji..?” Rhoma sebentar terdiam, lalu tersenyum. “Seratus lembar deh cukup…” katanya. Di Sumedang, baru saya tahu kepemimpinan Rhoma Irama yang kharismatik di mata pasukan “Soneta”.

Tak seorang pun turut campur, waktu Rhoma berbincang. Saya dibiarkan berdua. Kalau tidak diminta, awak “Soneta” tak pernah menampakkan sosoknya. Lebih kongkrit lagi, saat Benny Mucharam memberi komando untuk bersiap Shalat Isya berjamaah. Suasana Islami sangat mengental. Semua pemain “Soneta” mendadak sibuk berkemas. Berwudhu, dan mengenakan kain sarung. Sebagian memakai kopiah. Menyambar kain sorban. Saya ingin sekali memotret suasana religi kesibukan seperti itu.

Tetapi saya pun tak mau ketinggalan shalat berjamaah. Apalagi Rhoma Irama sebagai imam. Cepat saja ikut menjejeri shaf makmum di belakang imam. Saat-saat seperti itu, dimungkinkan massa mulai mengalir ke arena pergelaran musik “Soneta” di pusat perkotaan Sumedang. Mereka tak pernah tahu, sang “Raja Dangdut” tengah khusuk memimpin shalat di sebuah ruangan hotel. Usai shalat, kami disiapkan makan malam bersama. Dalam jeda waktu jelang meluncur ke Alun-alun, Benny sibuk berbagi jatah rokok kretek “Dji Sam Soe”.

“Merokok dulu, ‘Kang…!” Benny tertawa kecil, sambil menyodorkan sebungkus rokok. Jalinan kedekatan dengan keluarga “Soneta” terasa kian terbangun. Benar juga, jelang aksi pentas dangdut digelar, massa penggemar “Soneta di Sumedang, terhampar padat di depan pentas terbuka. Terdukung lagi dengan cuaca malam yang bersahabat. Pak Gunawan anggota Kopasus, yang turut mengawal perjalanan rombongan “Soneta”, sigap membantu pengamanan massa. Di antara jejelan massa, saya bisa nyaman menuturi langkah para pemusik “Soneta” menaiki tangga panggung terbuka ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *