SENI HIBURAN

Menapak Jejak Rhoma Irama : Luka Gadis Kecil Dalam Shalat…

Yoyo Dasriyo, Oma Irama, (alm) Veronica dan Debby Veramasari. Berfoto bersama, jelang pawai artis “Soneta Grup” keliling perkotaan Garut (1977).  (Foto: Cang Anwar)
Yoyo Dasriyo, Oma Irama, (alm) Veronica dan Debby Veramasari. Berfoto bersama, jelang pawai artis “Soneta Grup” keliling perkotaan Garut (1977).
(Foto: Cang Anwar)

Menapak Jejak Rhoma Irama : Bagian (8)

Oleh: Yoyo Dasriyo

SAYA nyaris tak mengenali lagi sosok tokoh pemusik handal “Giant Step” itu. Benny Soebarja yang terkabar sukses jadi pengusaha, kini berpenampilan ramping dengan rambut pendek dan berkaca mata putih. Sesaat saya tertegun. Namun Benny masih kenal saya. Seniman musik keras yang pernah bernama besar itu, tersenyum sambil mengulurkan tangannya. “Asa kenal itu teh…!” sambutnya dalam bahasa Sunda. Rekan Buyunk Aktuil menyebut nama, dan domisili saya. Seketika Benny melonjak. “Ooh .iya wartawan ‘Aktuil’ dari Garut…!”

Ternyata perjumpaan Rabu sore, 22 Mei 2013, yang ditempuh dengan perjalanan jauh dari rumah Jelly Tobing itu, tidak bisa mengembangkan perbincangan nostalgia. Benny Soebarja sibuk melayani tamu dari Singapore untuk urusan bisnis. Sayup-sayup adzan Maghrib pun mengalun. Benny Soebarja, Buyunk dan saya bergegas antrean wudlu. Dari arah mushola yang sudah sesak dengan jamaah, terdengar muadzin menyiapkan shalat. Sungguh, di saat-saat seperti itu, Jakarta seolah memandikan kedamaian dan kenyamanan mendalam. Sejuk membasuh semua relung sanubari.

Kilas balik tentang lintasan romantika hari kemarin bersama Rhoma Irama, kembali membayang. Manakala reputasi Rhoma kian diperhitungkan, panggung musik “Soneta Grup” di pelosok negeri ini, selalu menciptakan “lautan manusia”.. Luapan penonton seperti itu menuntut pengawalan dan pengamanan ekstra ketat. Terlebih, karena daya jual Rhoma Irama mulai ditambang dalam industri perfilman nasional. Di tahun 1976 itu, pasar film pertamanya bertajuk “Oma Irama Penasaran” yang ditangani (alm) A Harris, berjaya di gedung-gedung bioskop.

Belakangan saya tahu, A Harris yang juga pencipta lagu lawas “Kudaku Lari” (1949), termasuk kawan seperjuangan Kapt (Purn) R Burdah Anggawirya, ayah Rhoma Irama, semasa aktif di Detasemen “Garuda Putih”. “Saya sih kenal Oma sudah lama. Jauh sebelum dia bikin ‘Soneta’…” ungkap A Harris semasa hidupnya, saat sutradara film laga berdarah Betawi dan Banten ini bertandang ke rumah saya. Kedekatan dengan sutradara film itu terbina, sejak skenario film komedi “Bendi Keramat” yang saya tulis diproduksi di Garut tahun 1988.

Saya terusik untuk bisa bertemu lagi Rhoma Irama, setelah bergelar “Raja Dangdut”, berganti pasangan dengan Rita Sugiarto, dan setelah pamor “Soneta Grup”-nya kian perkasa. Banyak hal bisa saya tulis untuk media cetak. Justru, peluang jumpa itu tergelar lagi di Garut, jelang aksi pentas musik “Malam 135.000.000” di lapang terbuka “Jayaraga”. Saya memburu Rhoma dan Rita di Hotel “Kota” Jl Ciledug Garut sebelum mereka pawai keliling perkotaan. Lega hati saya. Rhoma Irama masih kenal saya. Ini perjumpaan ketigakali di Garut.

Seorang bocah mungil berkulit bersih, bernama Debby Veramasari, bermanja-manja di pangkuan Rhoma. Saat itu industri rekaman pop tengah memusim dengan aksi artis penyanyi cilik dari anak artis kenamaan, sejak lejitan Chicha Koeswoyo puteri Nomo Koeswoyo, mantan drummer grup legendaris “Koes Plus”. Fenomena hit lagu “Helly” merajai pasar kaset rekaman pop. “Memang sejak lama saya melihat ada bakat-bakat bagus dari Debby. Tapi sejauh itu, saya masih keberatan melepaskannya ke dunia rekaman. Terus terang saja, sebenarnya saya tidak berniat mengorbitkan dan mengkomersialkan dia jadi penyanyi” tandas Rhoma menyikapi kondisi itu.

Berlatar kemasyhuran Rhoma Irama, kehadiran Debby menjanjikan sukses sebagai artis penyanyi cilik pendatang. Namun Rhoma masih harus membaca tantangan, yang akan dihadapinya dalam mendua konsentrasi. Memikirkan kelangsungan “Soneta Grup, dan menangani karier sang gadis kecilnya. Saat saya tanya kelahiran Debby, seketika Rhoma Irama tertawa.”Saya lupa…., biar nanti saya tanya ibunya” Sambil menunggu Vernoica yang masih berkemas di kamarnya, Rhoma bertutur tentang kelucuan tingkah anak gadisnya itu.

“Kalau saya sembahyang, dia suka ngebuntutin! Suatu saat saya dibikin ketawa, lihat telunjuk yang diangkatnya waktu Attahiyat, bukan telunjuk kanan. Saya tanya, kenapa telunjuk kiri yang diangkat? Dia bilang, habis telunjuk kanan Debby sakit kena luka… Saya tertawa” cerita Rhoma berderai tawa. Tak lama, Veronica muncul mengulum senyum. Rhoma menyambutnya dengan menanyakan kelahiran Debby. ”18 Desember 1973. Baru empat tahun…!” balas sang mama spontan. Selepas wawancara, rekan Cang Anwar, saya minta memotret perjumpaan kenangan bersama Rhoma, Veronica dan Debby Veramasari. Suatu hari, foto bersama itu berharga sejarah***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *