SENI HIBURAN

Lagu Lambang Bintang Kelahiran : Pemujaan Yang Kekeringan Kreasi

Aida Mustafa sang pendatang yang memikat konsumen musik pop Indonesia (1967). Sukes kehadirannya berlagu “Yang Ditinggalkan” dan “Bukan Salahku”, berlapis juga dengan lagu “Libra Bintangku”. (Dokumentasi)
Aida Mustafa sang pendatang yang memikat konsumen musik pop Indonesia (1967). Sukes kehadirannya berlagu “Yang Ditinggalkan” dan “Bukan Salahku”, berlapis juga dengan lagu “Libra Bintangku”.
(Dokumentasi)

Lagu Lambang Bintang Kelahiran : Bagian (1)

Oleh Yoyo Dasriyo

SEDIKIT diingat orang, lagu pop bersyair lambang perbintangan pernah mengalir di kancah musik pop Indonesia. Di balik kehangatan lagu-lagu pop yang memuat kenangan di bulan tertentu, dunia musik Indonesia pun pernah diwarnai sukses lagu bersyair lambang bintang kelahiran. Itu kreasi peninggalan seniman musik pop kampiun (alm) Zaenal Arifien, yang melahirkan lagu “Bintang Leo” nyanyian (alm) Lilies Suryani. Sukses lagu kemasan Band Zaenal Combo itu, bersambut lagu “Bintang Taurus” (alm. Alfian), sang biduan legendaris.

Reputasi terpandang Lilies Suryani dan Alfian, yang mengental dengan kejayaan Band Zaenal Combo, seolah jadi awal pertaruhan untuk kemenangan pasar lagu perbintangan. Di tengah dominasi kemasyhuran penyanyi Titiek Sandhora (1969), lagu “Bintang Leo” seketika meniup lagi kemasyhuran Lilies Suryani. Sebagai kreasi baru penciptaan lagu waktu itu, “Bintang Leo” mampu menggosok kembali pamor penembangnya yang berbintang Leo (Jakarta 22 Agustus 1948).

Pamor Lilies pun masih berkilat di percaturan penyanyi pop. Bahkan meski arus penyanyi generasi baru deras bermunculan, Lilies Suryani masih berdaya saing. Album rekamannya bisa merebut pangsa pasar tersendiri. Racikan musik Zaenal Arifien pula, yang mendukung sukses Lilies, sejak lejitan tembang lawas “Cing Tulungan”, “Oh Hesti”, “Kau Pembela Nusa Dan Bangsa” dan “Lidya” (1964).lagu “Bintang Leo” menandai kebaruan formula komersial dengan lagu dari dunia astrologi. Lagu sederhana itu dipasarkan dalam piringan hitam “Aneka Bintang Dan Lagu” iringan Zaenal Combo, yang memuat sederet penyanyi pop.

Di dalam album kompilasi itu,Zaenal menghadirkan pula (alm) Onny Suryono, Tutty Subarjo, Elly Kasim dan Sandra Sanger.Sebenarnya, tak ada keistimewaan yang layak dibanggakan dari tatanan musik pengiring, bangunan lagu maupun syairnya. Semua amat bersahaja. Tetapi, “Bintang Leo” memberi keragaman baru dalam pewajahan lirik lagu pop. Lirik lagunya sekadar lukisan pemujaan dan kebanggaan atas lambang bintang kelahiran penembangnya. Bangunan awal syair lagunya tertulis seperti ini:

“Andaikan aku bersayap seperti seekor elang/ Ku ‘kan coba terbang jauh tinggi ke angkasa/ Kelap-kelip di angkasa, bintangku bintang Leo/ Betapa indah warnamu/ Warna kuning muda” Apapun adanya, kreasi baru itu mengalirkan sejumlah lagu perbintangan. Pemuja Taurus pun berbangga, saat (alm) Alfian mendendang lagu bintang kelahirannya.“Serasa hatiku ingin terbang jauh tinggi ke angkasa/ Andaikan saja dapat kumemiliki sepasang sayap/ Harapan akan bertemu dengan bintangku di langit/ Dapat kubayangkan betapa indahnya warna bintangku”.

Pengidolaan atas bintang Taurus menegas pada refrein: “Semua warna, merah, kuning, hijau dan putih/ Hanya satu warna bintangku yang terindah/ Biru muda, warna bintangku bintang Taurus/ Serasa kagum hatiku memandangmu, ohTaurus”

Dalam piringan hitam yang sama, Zaenal Arifien memilih Alfian biduan kenamaan kelahiran Binjai (Sumatera Utara), 27 April 1943, sebagai penembang “Bintang Taurus”. Simbol bintang kelahiran yang sama dengan Zaenal Arifien, (Surakarta, 5 Mei 1935). Boleh jadi, karena banyak lagu karya pimpinan Zaenal Combo itu pas dengan kapasitas suara Alfian.

Sebaliknya, Alfian pun fasih menerjemahkan karakteristik lagu-lagu ciptaan Zaenal Arifien, sejak “Musafir Cinta”, hingga berpuncak dengan sukses lagu “Sebiduk di Sungai Musi” yang romantis (1967). Selebihnya, Alfian berjaya dengan karya cipta lagunya sendiri, termasuk “Semalam di Cianjur”, “Sungai Kahayan maupun “Senja Di Pantai Sanur”. Sayangnya, syair “Bintang Taurus” masih saja bertutur lukisan angan, seperti “Bintang Leo”. Beralasan, kalau lagu itu kurang berdaya dongkrak bagi Alfian, saat masa kejayaannya mulai merapuh di jelang akhir 1969, dengan kehadiran Muchsin Alatas dan Bob Tutupoly.

Entah kenapa, Zaenal dan Lilies lalu mengadopsi “Bintang Leo” jadi lagu “Raja Muda”. Dua kesamaan lagu berbeda syair, “Bintang Leo” dan “Raja Muda” muncul di balik kepopuleran lagu “Air Mata” karya Lilies. Dalam “Raja Muda” tertutur syair: “Jika anda ingin tahu, wajah seorang raja/ Air mukanya seperti warna kuning langsat/ Lamaran dari seluruh kota/ Tapi hanya tuanku puteri/ Gadis desa jadi idamannya/ Pilihannya raja muda”. Kelahiran lagu “Raja Muda”,justru melunturkan kepopuleran lagu “Bintang Leo”, yang tengah dibangun. ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *