SENI HIBURAN

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla : Suara Sendu Dari Alam Keabadian

Di “Planet Hollywood” Jakarta (1996). Berderet di tengah, Ny Ningsihrat, Lia Nathalia, Yoyo Dasriyo dan (alm) RE Kusnadi. Sayang, karier Lia Nathalia terputus kesibukan studi. (Dokumentasi Yodaz)
Di “Planet Hollywood” Jakarta (1996). Berderet di tengah, Ny Ningsihrat, Lia Nathalia, Yoyo Dasriyo dan (alm) RE Kusnadi. Sayang, karier Lia Nathalia terputus kesibukan studi.
(Dokumentasi Yodaz)

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla Bagian ke  22 – Habis):

Oleh: Yoyo Dasriyo

Orangtua (alm) Nike Ardilla sempat tersentak, manakala mendengar suara Lia Nathalia yang sangat memiripi vokal anak gadisnya. Di antara sederet pendatang yang pernah deras tampil menuturi gaya Nike, hanya Lia Nathalia yang karakteristik suaranya amat pas. Karenanya, (alm) RE Kusnadi meminta saya menempatkan Lia Nathalia, sebagai pengganti almarhumah. Uniknya, keseharian Lia pun mirip Nike. Ceria dan penuh canda! “Tidak ada niatan saya untuk jadi artis terkenal! Saya hanya ingin jadi penerus jiwa kepedulian sosial Teh Nike…” tekad Lia dalam perjumpaan di “Planet Hollywood” Jakarta, selepas peluncuran album perdananya, “Selamat Tinggal Kekasih” (1996).

Lagu beraroma slow rock yang ekspresif itu, merupakan bukti lain kesungguhan Lia dalam memuja artis idolanya. Bersama Harry Koesman, Lia menulis syairnya seolah dirinya sebagai Nike Ardilla, yang berucap salam perpisahan untuk kekasih hatinya. Syair lagunya pun seumpama “suara dari alam keabadian”. Namun setelah album “Permata Cinta”, laju karier Lia Nathalia tidak berlanjut. Pamornya yang beranjak bersinar, dibiarkannya layu sebelum berkembang… Meski Lia hadir dengan kekayaan “suara Nike”, gadis sulung Erwin Makaenas dan Ny Jeanny Lumanaow itu meyakini, bahwa Nike Ardilla tidak akan pernah tergantikan.

Sebaris pendatang bernama Ardilla yang berguguran, jadi pembenaran dari keyakinan itu. Nike Ardilla tiada duanya! Kenyataan seperti itu dicerminkan lagi dengan keberadaan makam sang bintang, yang hingga kini masih menarik kunjungan para penggemar beratnya. Itupun tidak ada duanya! Kepopuleran makam Nike turut menderaskan arus wisatawan ke Ciamis. Tetapi, Disparbud Ciamis tidak menempatkan keberadaan makam Nike Ardilla sebagai asset “wisata budaya”. Keterangan Owoy Ruswanda menuturkan, “wisata budaya” harus memiliki situs peninggalan sejarah. Minimal berumur 50 tahunan.

Kecuali itu, harus terdukung cerita rakyat, daya tarik, fasilitas lain, serta jasa kuncen. Betapa pun tragedi maut bintang sebelia Nike Ardilla dalam kegemilangan reputasinya, memang kejutan duka pertamakali di negeri ini. Namun musibah lalulintas yang merenggut nyawa artis kondang, bukan hanya menimpa Nike Ardilla. Pada 9 Juli 1974, tragedi mengenaskan menghentak dunia musik Indonesia. Fuad Hassan dan Soman Lubis – pemusik “God Bless”, tewas mengerikan! Motor Yamaha yang mereka tumpangi, bertabrakan dengan truk di keramaian Jakarta.

Drummer kondang Fuad Hassan, yang baru empat bulan menikahi Camelia Malik, tewas seketika. Sang “top drummer Indonesia” itu, tergusur truk sejauh 23 meter. Soman Lubis pemain organ, terlempar 12 meter dari lokasi tragedi. Berselang tiga jam, pemusik idola remaja Bandung itu tutup usia di RS Fatmawati Jakarta. Itu tragedi paling tragis dalam sejarah keartisan Indonesia. Dua petaka lainnya tergelar di akhir kehidupan presenter Taufik Savalas, dan aktor film ganteng Sophan Sophiaan. Reputasi cemerlang dalam profesi mereka, kini terkubur putaran waktu. Mereka seolah tak pernah ada.

Sebaliknya, Nike Ardilla jadi fenomena duka “mega bintang”,yang masih memanjang, dengan kemasyhuran lagu-lagu peninggalannya yang merawankan sukma. Sedikit orang tahu, kalau “Nike” itu nama paduan orangtuanya. Suatu siang di Ciamis, (alm) RE Kusnadi bertutur: “Nike teh singkatan dari ‘NK’, Nining dan Kusnadi..! Lalu, saya jadikan nama ‘Nike’ saja! Tidak enak kalau nama ‘Si Eneng’ harus jadi ‘Ningkus’ mah…” Papi dan mami Nike tertawa. Menertawai kenangan hari-hari kemarin, saat mencari nama untuk anak gadisnya.

Ternyata, sang “mega bintang” Nike Ardilla, tak hanya memuat kenangan Bukit Ardilayang…
Kedukaan mendalam Ny Ningsihrat atas kepergian abadi Nike Ardilla, hingga kini tak pernah mengering. Tangis sedihnya seringkali berurai, manakala melihat para peziarah yang masih mengalir ke makam anak gadisnya. “Mami sangat terharu,melihat mereka yang berdatangan!

Tidak habis bertanya dalam hati, punya apa atuh Si “Eneng” teh, sampai bisa begitu…?” memang, tanya sang ibu seperti itu, seakan terbalut misteri. Tak pernah bisa terjawabkan. Manakala Ny Ningsihrat tergoda kerinduan jumpa anak gadisnya, ibu tiga anak ini mengaku selalu menganggap kepergian Nike sedang sibuk show di luar negeri.

Di makan almarhumah Nike Ardilla, saya duduk termangu. Membiarkan sunyi memeluk alam sekiar Dusun Cidudu, Desa Imbanagara itu. Dalam kebisuan suasana, saya hanya berteman bayang kenangan kedekatan, yang akan senantiasa membasah selamanya. Tawa nyaring dan canda lepas Nike Ardilla, kini hanya terbingkai di relung hati terdalam. Tiada lagi bintang dengan reputasi gemilang seperti Nike Ardilla, yang dirinya tak pernah merasa besar. Canda hangat dalam keakrabannya, menebarkan kenangan tanpa tepian…. *** (Selesai)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *