SENI HIBURAN

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla : Tiada Bintang Dalam Keseharian…

Di depan rumah di Parakan Saat, Bandung, Yoyo Dasriyo dan (alm) Nike Ardilla. Lagi-lagi Nike “berulah” nakal. Kedua tangannya menekan pundak, sambil tertawa nyaring. (Foto Dokumentasi: Yodaz)
Di depan rumah di Parakan Saat, Bandung, Yoyo Dasriyo dan (alm) Nike Ardilla. Lagi-lagi Nike “berulah” nakal. Kedua tangannya menekan pundak, sambil tertawa nyaring. (Foto Dokumentasi: Yodaz)

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla Bagian ke 15

Oleh: Yoyo Dasriyo

Nike masih bermanja-manja, dan mengumbar canda. “Oom Yoyo kapan atuh mau ke rumah? Alaaa.., sombong-lah sekarang mah!“ katanya lagi. Tudingan sombong itu berulang-ulang. Benar, Nike Ardilla tak pernah merasa dirinya artis populer. Entah kenapa, saya tergoda mencandainya dengan kalimat asal-asalan saja. “Neng.., Oom Yoyo akan datang, kalau Eneng….!” Saya memutus kalimat. “Eh terusin dong! Kalau Eneng apa…?” desak Nike. “Iyaaa.., Oom Yoyo akan datang ke rumah Eneng, kalau Eneng sudah berhenti …. mengalirkan uang..!” Canda saya sambil tertawa.

Denny Sabri pun tertawa. Nike membalas sengit. “Eh.., Oom Yoyo jahaaat! Awas nanti Eneng bilangin sama papi. Pokonya Eneng bilangin juga sama mami…! Enak aja…” Reaksi itu diwarnai dera tawa nyaring. Saya malah berani menantang. Tidak riskan, kalaupun canda lepas itu disampaikan ke orangtuanya. “Terserah Eneng! Bilangin aja sama Mami..!” balas saya. Nike kembali tertawa. “Ih, Om Yoyo jahat! Sebel…! Beneeeer nanti Eneng bilangin!” katanya mengancam. Sengaja saya seolah menantang. Kalau saya larang, justru Nike akan menyampaikannya.

Saya kenal gayanya. Namun canda itu sebenarnya untuk mengingatkan Nike. Saya akan tetap datang ke rumahnya, meski nanti pamor keartisannya memudar, atau terlupakan orang. Bukan maksud berhenti “mengalirkan uang”, dengan kepergian abadi… Nike Ardilla tak merasa seorang bintang besar. Sikap kesehariannya masih seperti dirinya masih jadi Nike Astrina. Sungguh ketenarannya yang menjulang, tak merubah pribadinya. Hanya untuk jadi bintang tamu di stand pameran saja, keceriaannya berbunga-bunga.

“Om Yoyo janji ya…! Mesti muat lagi berita Eneng… Awas lho, kalau bohong! Eneng tunggu nanti..” katanya lagi manja. Ternyata, saya terlambat hadir dalam pembukaan pameran HPN itu. Kabar sukses kehadiran Nike di sand pameran,hanya saya dengar dari rekan-rekan penjaga stand. Siang itu saya datang berdua Rieke Diah Pitaloka. Naik kendaraan umum dari Garut, sepulang Rieke sekolah. Sebenarnya, Rieke pun belum “pede” untuk tampil di stand itu, karena belum punya “nilai jual”. Gadis tomboy berambut pendek itu masih belum jadi “publik figur”! Masih terlalu polos.

Saya semangati agar Rieke tampil bergaya “artis jadi”.“Pak Yodaz ‘nggak malu bawa Keke? Keke ‘kan ‘nggak ada potongan artis..! Lagian, kalau ditanyain orang, Keke ini artis apa ya?” Rieke tertawa. Gadis ini terbiasa memanggil saya dengan sebutan “Pak Yodaz”. Saya tetap memotivasi ketegarannya. “Kamu ‘nggak usah minder, ‘Ke! Cuek aja… Mana orang tahu, kamu baru calon bintang!”. Terbukti, Rieke yang lincah dan komunikatif, sukses jadi “bintang stand” di pameran itu. Saya harus segera menjumpai Nike, untuk berucap terimakasih atas kesediaannya tampil di stand itu.

Tetapi tak sampai hati melepas Rieke sendirian pulang ke Garut. Apalagi naik bis umum malam hari. Kami pun sepakat menginap di Jl Rancamanyar, Turangga. Ada dua ruangan kamar tamu di rumah (alm) Pak Daryanto, kepala perwakilan koran itu. Belum terpikirkan, Rieke Diah Pitaloka bakal mengemuka sebagai aktifis perempuan dan tampil di kancah politik, setelah dikenal di ladang film dan sinetron Berselang sehari, saya memburu Nike ke rumahnya. Lagi-lagi jejak Nike, tak bisa dijumpai. Sang gadis bintang kembali sibuk di Jakarta.

Nike tak bisa berlama-lama tinggal di Bandung. “Uuuh.., kemarin Si Eneng nunggu- di pameran! Pulang ke rumah, Neng Nike ngomel, Mih, Oom Yoyo-nya nggak dateng..! ‘Nggak tahu ke mana… Janji sama Eneng mau datang, eeh… bohooong!” Ibu Nike menirukan lagi omelan anak gadisnya sambil tertawa. Peluang menebus “dosa” saya, kembali terkembang. Tahun 1993, skenario sinetron drama bernuansa horor “Impian Pengantin” yang saya tulis, diproduksi PT “Esa Production”. Rumah produksi yang membintangkan Nike dalam sinietron “Sukreni Gadis Bali” (RCTI).

Produser sinetron, (alm) H Erwin Amril sepakat membintangkan Rieke Diah Pitaloka, untuk pelakon utama dalam “Impian Pengantin” garapan H Maman Firmansyah. Saya minta H Erwin, agar Nike Ardilla diperankan sebagai “Intan”, untuk “nilai jual” tayangan sinetronnya. Dengan kapasitas “bintang tamu”, tidak mengganggu jadwal kegiatan Nike dalam sinetron lainnya. Erwin Amril setuju. Terkabar, Nike pun siap berperan. Hanya saja, sang bintang tidak bisa syuting di Garut, karena harus bolak-balik Bandung – Jakarta *** (Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *