SENI HIBURAN

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla : Tergoda Berlagu Lawas Tanpa Suara

Kenangan di Pekalongan 1988. Dari kiri: Yossie Lucky, Yoyo Dasriyo, (alm) Nike Ardilla dan Evie Sopha, yang berganti nama Yevie Nabela. (Foto Dokumentasi Yodaz)
Kenangan di Pekalongan 1988. Dari kiri: Yossie Lucky, Yoyo Dasriyo, (alm) Nike Ardilla dan Evie Sopha, yang berganti nama Yevie Nabela.
(Foto Dokumentasi Yodaz)

Peringatan Kelahiran Nike Ardilla : Bagian 6

Oleh : Yoyo Dasriyo

Kami hilir-mudik dan bertanya-tanya di sekitar sudut teras, dan halaman rumah yang rimbun itu. Tak sedikit pun mengira, jika Nike berani “berulah nakal” di rumah orang! Kembali bunyi klakson mobil terdengar, mengisyaratkan harus buru-buru. Tak lama, suara Nike berseru: “Om Yoyo ayo cepetaaan.., kalau mau ke Bandung sama-sama! Kalau ‘nggak, nyusul aja naik bis…!” Suara gadis itu bersambut gelak tawa orang di dalam mobil. Saya minta sedikit waktu, untuk menemukan sepatu. Tetapi perlahan mobil itu bergerak. Sedikit menjauh dari depan rumah.

Kesal dan malu hati, saya pamitan ke Nila dan ibunya. Saya pasrah. Dimungkinkan sepatu itu dimangsa maling! Nila Karlina pun ikut menyesali kejadian memalukan di rumahnya. Artis berperawakan jenjang itu menjanjikan, akan membantu mencari sepatu keesokan harinya. Saya memburu mobil, dengan hanya berkaos kaki…! Rupanya, semua orang di mobil itu kompak bersandiwara. Mereka seolah turut mengumpat sang pencuri sepatu. Bahkan, ketika Nike dijadikan “tersangka”, gadis ini mengelak sengit.

“Berani sumpah, Eneng mah tidak menyembunyikan sepatu! Pokoknya, Eneng mah ‘nggak suka, kalau Eneng dituduh! Enak aja…Punten!” Nike kecut serius. Wajahnya meyakinkan “tanpa dosa”. Lalu, membuang muka. Reaksi itu menipiskan harapan menemukan lagi sepatu. Didukung lagi kesiapan Denny Sabri, untuk menggantinya dengan sepatu baru. Ibu Nike pun bergeleng kepala. Tak tahu nasib sepatu itu. Namun tak lama, perlahan ibunda Nike membisik. Telunjuknya menuding ke arah bungkusan plastik… Ya ampun.! Ulah siapa lagi, kalau bukan “kenakalan” canda Neng Geulis?

Dalam remang malam di dalam mobil Carry itu, tampak sebuah bungkusan plastik. Bungkusan itu disusupkan ke sudut kolong jok depan. Saya melepas napas kesal. Saat melirik ke arah Nike, gadis ini “berakting” tidur sambil menyusupkan wajah ke pangkuan ibunya. “Alaaa.., enak aja berani sumpah segala!” Saya mengomel dan mencolek pinggangnya. Nike tersentak. “Aduh, apa sih salah Eneng? Orang mau tidur, digangguin..!” Nike beraksi kecut. Matanya menatap tajam. Lalu buang muka, dan cepat kembali menyusup ke ibunya.

“Uuuh…, aktiiing! Udaaah ngaku aja, Neng!” bujuk saya lagi. Nike terbangun, dan tetap mengelak. “Beneeer.., itu mah bukan Eneng! Sumpaaah….! Enak aja nuduh Eneng! Punten..!”. Saya pandangi gadis itu. Sesaat, Nike menahan tawa. Gelak tawa nyaringnya lalu berderai. Saya bergeleng kepala. Tidak seujung rambut pun menduga, kalau Nike berani beraksi “nakal” di teras rumah orang. Gadis itu berakting “wajah tanpa dosa”. Saya lama dibiarkan kebingungan…

Belum juga saya “menghukumnya”, Nike cepat minta ampun, lalu berlindung ke balik ibunya. Gadis ini tertawa sepuas hati, karena merasa sukses mencandai saya. Sebentar saya berpura-pura marahl Diam tak mau bersuara. Namun Nike menggoda. Sambil tertawa, kembali berlagu “Mulanya Biasa Saja”, yang tidak pernah selesai. Memang terlalu banyak lelucon segar Nike, yang terkadang berulah nakal. Semua itu tertinggal dalam serpihan kenangan.

Romantika kebersamaan panjang itu, cerminan kedekatan yang hampir “tak pernah damai”. Itu pula sebabnya, Nike tak pernah duduk bersebelahan di jok mobil. Terlebih dalam perjalanan jauh. Sang gadis pun tak mau membelakangi saya. Nike memilih duduk di belakang. Tentu, bukan tanpa maksud …! Saya pun harus mawas diri.. Seringkali terpaksa duduk menyamping. Tak lain karena tangan Nike suka iseng. Dengan posisi di belakang saya, tangannya leluasa bergerilya. Culak-colek. Tak mau diam. Pandangan Nike pura-pura ke lain arah.

Tak cuma itu,ujung sepatunya turut diperankan. Diam-diam sepatunya disenggolkan, hanya untuk menodai kebersihan sepatu saya. Waktu mau dibalas, secepat itu Nike melipat kakinya. Lagi-lagi tertawa, dan merangkul ibunya. Selama gadis belia itu belum tertidur di perjalanan, suasana dalam mobil serasa tak pernah “nyaman”. Nike memang suka usil! Namun pernah suatu siang sepulang dari Pekalongan, gadis lincah itu berwajah mendung. Ada keinginannya yang berseberangan dengan kehendak ibunya.

Di dalam mobil yang meluncur ke Cirebon itu, terdengar musik mengiring tembang pop lawas. Dalam posisi duduk menyamping, saya iseng menuturi pengucapan syair lagunya. Tanpa suara. Hanya menggerakkan bibir. Rupanya, Nike diam-diam mengamati aksi saya. Terbukti, derai tawanya memecah. Saya terus saja berlagu tanpa suara. Bahkan berpura-pura serius menghayati lirik lagunya. Tawa Nike pun makin menjadi-jadi…Pukulan gemasnya menghujani lengan saya. “Aduh kenapa sih ‘nggak bisa diam? Saya lagi ngapalin’ lagu…Jangan ganggu! Diam….!” Bentak saya berguyon, sambil berusaha menghindarkan “serangannya”.
(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *