SENI HIBURAN

FFI 2014 Palembang, Kota Pertama Pemberlakuan Nominasi

Keterangan Foto : Kenangan dua aktor film kenamaan, (alm) Arman Effendy dan (alm) Soekarno M Noor, dalam adegan film “Kemelut Hidup”. Di awal sistem nominasi, film karya (alm) Drs H Asrul Sani itu menjayakan Soekarno M Noor sebagai Aktor Terbaik FFI 1979 Palembang.  (Dokumentasi Yodaz)
Keterangan Foto :
Kenangan dua aktor film kenamaan, (alm) Arman Effendy dan (alm) Soekarno M Noor, dalam adegan film “Kemelut Hidup”. Di awal sistem nominasi, film karya (alm) Drs H Asrul Sani itu menjayakan Soekarno M Noor sebagai Aktor Terbaik FFI 1979 Palembang.
(Dokumentasi Yodaz)

Bagian 1

Oleh Yoyo Dasriyo

DESEMBER mendatang ini, pergelaran malam puncak Festival Film Indonesia (FFI) 2014 dijadwalkan bertuarumah di Palembang. Di bumi Sriwijaya itu sistem nominasi mulai digulirkan dalam FFI, untuk menjaring unggulan semua unsur filmis terbaik peraih Piala Citra. Pada tahun 1979, FFI Palembang menamatkan spekulasi yang selalu menghangatkan jelang puncak festival film, tentang para peraih gelar terbaik untuk bermacam aspek filmis dan sederet insan filmnya.

Andai kelangsungan pentas FFI tidak sempat “runtuh” tertindih mega mendung perfilman, pemberlakuan sistem nominasi dalam penjurian festival film itu sudah mencapai tigapuluh enamkali pergelaran. Sistem nominasi itu yang merepis cekaman dag-dig-dug pengguncang harapan manis insan film, jelang detik-deik penganugerahan lambang supremasi tertinggi perfilman nasional. Bermula dari FFI 1973 di Jakarta, sebagai wajah baru Pekan Apresiasi Film Indonesia yang terhenti sejak 1967, arena FFI menyergap orang film ke dalam ketegangan.

Begitu tinggi demam rebutan Piala Citra, merasuk insan perfilman di malam penutupan FFI. Terlebih bagi para pelaku film, yang diperhitungkan berpeluang meraih Piala Citra! Semua hanya menduga-duga tanpa kepastian. Tidak ada kekuatan yang jadi bayangan kemenangan seseorang. Barangkali kegelisahan mendadak seperti itu, bukti tingginya martabat Piala Citra, dan terhormatnya wibawa FFI.

Dalam perjumpaan di Bandung, Drg Fadly mengaku, tak pernah lupa dengan ketegangan yang memanggangnya di FFI 1976 Bandung. Pada FFI pertama di Bandung, nama Fadly mencuat dari film “Cinta Rahasia” sebagai aktor yang banyak disebut-sebut berpotensi merebut Piala Citra, di tengah menghangatnya tebakan untuk kemenangan (alm) Ratno Timoer dari film “Cinta” karya (alm) Wim Umboh. Memang, dalam film “Cinta Rahasia” (Lukman Hakim Nain), Fadly yang tampil bersama (alm) Tanty Yosepha, menunjukkan totalitas akting terpuji.

Sebagai figur dokter berkarakter antagonis, yang sarat tantangan pemeranan. “Terus terang saja, saya pernah grogi di FFI 1976! Soalnya, banyak orang mengunggulkan kemenangan saya. Rekan-rekan wartawan film meyakinkan saya, sampai banyak orang ngasih selamat” kenang Fadly. Ternyata, dewan juri memilih Ratno Timoer sebagai Aktor Terbaik, dan Rina Hassim “Aktris Terbaik dari film “Semalam di Malaysia” karya (alm) Nico Pelamonia.

Di FFI Surabaya (1974), Medan (1975), dan Jakarta (1977), kalangan artis film lainnya pun menuturkan cerita ketegangan senada Fadly. Karenanya, sistem nominasi, dinilai sebagai langkah maju dalam penilaian juri FFI, menyusul kejutan kejayaan (alm) Kaharudin Syah (film “Letnan Harahap”), dan Joice Erna (film “Suci Sang Primadona”) sebagai Aktor/Aktris Terbaik FFI 1978 Ujung pandang. Mereka penerima Piala Citra, yang saat itu masih dianggap “wajah asing”.

Keputusan dewan juri FFI Ujungpandang, dituding merendahkan harga Piala Citra. Terlebih, karena mematahkan dugaan kemenangan untuk Roy Marten dan Christine Hakim dari film “Badai Pasti Berlalu” karya (alm) Teguh Karya), Tanpa sistem nominasi, jelang puncak FFI seakan gelap dalam kemeriahan. Semua hanya bisa menduga-duga pemenang, dengan perhitungan dan keyakinan tersendiri.

Pemberlakuan nominasi mulai menyurutkan tradisi “kejutan” kemenangan, yang terkadang berbuntut sumbang. Bahkan, nominasi pun jadi berharga pengakuan prestasi membanggakan dari pertaruhan target minimal seorang kontestan. Sedikit diingat orang, di awal penberlakuan sistem nominasi di FFI 1979 Palembang, diwarnai momentum duel ketat film jempolan karya para sutradara kenamaan yang saat itu tengah berjaya,

Mereka terdiri dari (alm) Wim Umboh, (alm) Teguh Karya, (alm) Drs H Asrul Sani, (alm) Wahyu Sihombing dan Ali Shahab. Unggulan film terbaiknya terbagi untuk film “Binalnya Anak Muda”, “Buaya Deli”, “Kemelut Hidup”, “Pengemis dan Tukang Becak”, “November 1828”, serta “Pulau Cinta”. Kelima film unggulan itu menguatkan keaktrisan Christine Hakim, Yenny Rachman, Mutiara Sani, (alm) Suzanna dan Tutty Kirana, sebagai nominasi aktris terbaik.
( Bersambung )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *