SENI HIBURAN

Persembahan Spesial PARFI Jabar, “Sepekan Film Rachmat Hidayat”

Aktor film kawakan Rachmat Hidayat di film “Mat Peci Pembunuh Berdarah Dingin” (1978) karya (alm) Willy Wilyanto. “Mat Peci” sang tokoh film ini identik dengan kemasyhuran Rachmat Hidayat. (Dokumentasi Yoyo Dasriyo)
Aktor film kawakan Rachmat Hidayat di film “Mat Peci Pembunuh Berdarah Dingin” (1978) karya (alm) Willy Wilyanto. “Mat Peci” sang tokoh film ini identik dengan kemasyhuran Rachmat Hidayat.
(Dokumentasi Yoyo Dasriyo)

Persembahan Spesial PARFI Jabar (Bagian 1)

Oleh : Yoyo Dasriyo

Sebagai bentuk penghormatan atas jasa dan dedikasi aktor film legendaris, H Rachmat Hidayat dalam berprofesi, kini DPD PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia) Jawa Barat bersiap menentukan waktu dan tempat untuk menggelar “Sepekan Film Rachmat Hidayat”.

Ketua Sinematek Indonesia, Ady Surya Abdi memberi dukungan penuh untuk pergelaran acara itu, dengan pengadaan sejumlah film kenangan yang diperani aktor film legendaris itu.

Sekretaris PARFI Jabar, Jef Evakuara, membenarkan, “Sepekan Film Rachmat Hidayat merupakan kegiatan pertamakali, untuk mengenang kembali film-film yang pernah membesarkan keaktoran Rachmat Hidayat, dan diharapkan bisa memotivasi kesungguhan generasi penerusnya dalam berprofesi. PARFI Jabar akan menjaring 7 buab film populer bernilai historis dalam perjalanan profesi Rachmat Hidayat di antara 96 film yang diperani tokoh senior semasa PARFI Jabar bernama PARFI Cabang Bandung.

Sepantasnya PARFI Jabar menggelar kegiatan itu, karena sukses aktor film kawakan kelahiran Bandung, 3 juli 1933 tersebut, jadi bagian dari legenda perfilman nasional. Dengan bimbingan “Bapak Perfilman Nasional” (alm) H Usmar Ismail, Rachmat Hidayat membuka karier filmnya dengan peran kecil di film “Toha Pahlawan Bandung Selatan”.saat masih aktif dalam kesatuan Kodam III Siliwangi (intel CPM), tahun 1961 Selepas film itu, Usmar menampilkan lagi di film “Anak Perawan di Sarang Penjamun” (1962), yang dibintangi Nurbani Yusup.

Titian karier Rachmat Hidayat melaju tahun 1964 dengan mendukung film-film “Anak-Anak Revolusi”, “Semusim Lalu” dan “Teror di Sulawesi Selatan”. Tahun 1965, Rachmat tampil di film “Sahabat-Sahabat Dalam Gelap”, “Tak Kan Lari Gunung Dikedjar”, “Liburan Seniman”, dan “Langkah di Persimpangan”. Meski saat itu reputasi Rachmat Hidayat masih berproses, tetapi tahun 1966 aktor ini berani tampil sebagai produser PT “Bandung Azwa Film” dengan membuat film “Tikungan Maut”.

Jalan karier tak selalu mulus. Penyelesaian film karya (alm) Nyak Abbas Akup yang dibintangi Rachmat Hidayat dan Nani Widjaya itu sempat tertunda, karena keterbatasan dana produksi hingga baru bisa edar tahun 1973. Walau begitu, tak mematahkan semangat Rachmat Hidayat. Sebelum filmnya selesai, aktor ini tetap eksis berlakon dalam film “Tjek AA 42658”” karya (alm) Alam Rengga Surawidjaya (1966), “Gadis Kerudung Putih” garapan (alm) Wahyu Sihombing (1967), serta dua film karya Usmar Ismail, ”Ja Mualim” (1968), dan “The Big Village” (“Dusun Besar”).

Bintang kehidupan Rachmat Hidayat pun bersinar, ketika film “The Big Village” yang membintangkannya bersama Mieke Widjaya, sukses menjaringkan sang aktor bergelar The Best Actor”, dalam pemilihan “The Best Actor/Acrrees” 1970 versi PWi Jaya Seksi Film, bersama Rima Melati “The Best Actress” dari film “Noda Tak Berampun” karya (alm) Turino Junaedi. Meski “The Big Village” tidak selaris film “Ananda”, yang membidani kelahiran Lenny Marlina, namun film itu momentum pengakuan keaktoran Rachmat Hidayat.

Tradisi tahunan pemilihan aktor dan aktris terbaik itu, kemudian jadi tonggak sejarah kebangkitan Festival Film Indonesia (FFI) 1973. Tenyata, gelar aktor dan aktris terbaik versi PWI Seksi Film, sangat menguntungkan karier insan film. Gelar bergengsi itu berperan besar meniupkan promosi Rachmat Hidayat, karena pergelaran pertama pemilihan itu, menerbitkan asumsi tentang daya jual pemasaran film yang dibintanginya. Kelangsungan karier artis yang terjaring ke dalam penilaiannya, sertamerta terdongkrak!

Prestasi gemilang sang artis di pentas terpandang, menjanjikan harga pasar untuk filmnya. Karenanya, sukses artis film saat itu, dipertaruhkan di pentas rebutan gelar aktor dan aktris terbaik. Perwajahan film nasional pun, lalu terpicu menjual bintang-bintang bergelar “the best”. Nama Rachmat Hidayat, Rima Melati, Widyawati, Mieke Widjaya dan sederet bintang yang sudah tiada seperti Farouk Affero, WD Mochtar, Dicky Zulkarnaen, Suzanna serta Chitra Dewi, jadi kiblat pasar produksi film nasional. Sistem bintang itu terus berputar, menuturi pergeseran keberuntungan prestasi artis di pentas pemilihan “the best”***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *