SENI HIBURAN

Di Balik “Harapan” dan Pendatang Baru Terbaik, Dari Suzanna Hingga Kejutan Djenar Maesa Ayu

Aktris film legendaris, (alm) Chitra Dewi dan El- Manik dalam sebuah adegan film. Chitra Dewi tercatat sebagai wanita suradara film ketiga di Indonesia, setelah (alm) Sofia WD. Film keryanya berjundul “Penunggang Kuda Dari Cimande”, “Dara-Dara” dan “Bercinta Dalam Gelap” (1971) (Istimewa)
Aktris film legendaris, (alm) Chitra Dewi dan El- Manik dalam sebuah adegan film. Chitra Dewi tercatat sebagai wanita suradara film ketiga di Indonesia, setelah (alm) Sofia WD. Film keryanya berjundul “Penunggang Kuda Dari Cimande”, “Dara-Dara” dan “Bercinta Dalam Gelap” (1971)
(Istimewa)

Di Balik “Harapan” dan Pendatang Baru Terbaik (Bagian 5)

Oleh : Yoyo Dasriyo

Nama NV “Perfini” lahir sebagai perusahaan film pertama milik pribumi, yang membuka sejarah dengan produksi film “Darah Dan Doa” (1950) karya (alm) H Usmar Ismail, Direntang sepuluh tahun, hadir (alm) Sofia WD sebagai wanita sutradara kedua dengan film “Badai Selatan” (1960). Film pertama karya Sofia meraih penghargaan khusus di Festival Film Berlin 1963. Kelangsungan profesi Sofia sebagai sutradara pun, menguat dengan pendirian PT “Libra Film” (1970), yang mengalirkan film-film seperti “Si Bego Dari Muara Condet”, ”Singa Betina Dari Marunda” berikut “Si Bego Menumpas Kucing Hitam’.

Setelah nama perusahaan filmnya berganti PT “Dirgahayu Jaya Film” (1974), Sofia mengemas film “Melawan Badai”, yang mengantar suaminya (alm) WD Mochtar) jadi “Aktor Harapan” di pentas “The Best Actor & Actrees” versi PWI Jaya Seksi Film 1974. Film itupun meraih Piala Citra penulisan skenario terbaik untuk (alm) Arifien C. Noer) di FFI 1975 Medan. Film lainnya yang memikat bertajuk ”Jangan Menangis Mama” (1978).

Di luar perusahaan filmnya, Sofia menggarap film “Halimun” (1982), “Anehnya Cinta” dan “Memburu Makelar Mayat (1986). Kelahiran wanita sutradara ketiga, (alm) Chitra Dewi, juga aktris film berpesona klasik, yang mengelola PT “Chitra Dewi Film Production”. Selepas memproduksi film “Samiun Dan Dasima” (1970) karya (alm) Ch Hasmanan, Chitra Dewi jadi sutradara film “Penunggang Kuda Dari Cimande” (1971). Film yang dibintangi Agus Erwin (anak Chitra Dewi) itu, lahir di tengah memusim tema laga, menapaki sukses film “Si Buta Dari Goa Hantu”, “Si Pitung”, “Si Bongkok” dan banyak lagi judul lainnya.

Namun, tanpa keistimewaan karyanya, Chitra Dewi tampil mengejutkan! Dalam waktu bersamaan, aktris legendaris “Tiga Dara” (1956) dan “Pedjoang” (1960) itu, menggarap dua film sekaligus, “Dara-Dara” dan “Bercinta Dalam Gelap”. Sebuah keberanian yang dianggap atraktif dan spekulatif! Kedua film itu justru membenamkan pamor Chitra Dewi dari dunia sutradara film. Tetapi, kegagalan Chitra Dewi yang kembali berprofesi sebagai aktris, tidak memadamkan gairah wanita berkarier sutradara.

Tahun 1980, muncul Ida Farida sebagai wanita sutradara keempat, dengan film “Guruku Cantik Sekali”, yang menggosok kembali pamor Lenny Marlina, setelah lama memudar. Berbeda dengan seniornya, karier Ida Farida bisa melaju tanpa pendirian perusahaan film. Sejumlah filmnya tercatat, “Busana Dalam Mimpi”, “Merenda Hari Esok”, “Perawan-Perawan”, “Sabar Dulu Dong” (komedi Warkop DKI), “Di Balik Seragam Sekolah” hingga berpuncak ke film “Semua Sayang Kamu”.

Dalam banyak karya filmnya, mantan wartawati itu mengerjakan penulisan cerita dan skenario filmnya. Tak diragukan lagi, saat Ida Farida bergelar penulis skenario terbaik FFI 1989 Jakarta atas film ‘Semua Sayang Kamu’. Wanita ini pula yang membuka peluang Meriam Bellina bermain film di film “Perawan-Perawan” (1981). Namun pamor Ida Farida lama memudar, karena tak mudah menemukan titik temu dengan kehendak kalangan produser film. Kondisi itu pula, yang mengungkung potensi Jajang C Noer.

Potensi Jajang C Noer sebagai sutradara film belum terkembang. Mestikah kelahiran maupun kelangsungan wanita sutradara, mengental dengan pendirian perusahaan film? Padahal Jajang prospektif sebagai sutradara, saat mengemas sinetron “Bukan Perempuan Biasa” (1997). Keapikan karya filmnya terdukung kefasihannya menafsirkan skenario. Sinetron itu pula, menunjukkan keberanian Jajang berbahasa gambar, dalam kilas-balik adegan pemerkosaan Christine Hakim, tanpa kesan vulgar!

Sejumlah wanita sutradara menempuh terobosan kariernya, dengan mendirikan perusahaan film. Agaknya, itu siasat ideal untuk eksis berkreasi, dan bebas berekspresi. Kini, kelahiran sederet wanita sutradara film makin menguatkan daya saing di festival maupun di pasar film, dengan film-film berkelas unggulan. Bukan lagi kemustahilan wanita sutradara mampu bergelar Sutradara Terbaik. Gelar bergengsi yang dimenangi Mouly Surya (FFI 2008), Djenar Maesa Ayu (FFI 2009), serta Kamila Andiri di FFI 1011 merupakan pembenaran fakta ***

(Selesai)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *