SENI HIBURAN

“Frieda” Film Nasional Pelopor Adegan Cium

Poster film “Frieda” (1950), yang sangat sederhana. Film pertama karya dr Huyung ini, menuai heboh karena memuat adegan ciuman pertama dalam sejarah perfilman nasional. (Istimewa)
Poster film “Frieda” (1950), yang sangat sederhana. Film pertama karya dr Huyung ini, menuai heboh karena memuat adegan ciuman pertama dalam sejarah perfilman nasional.
(Istimewa)

Oleh: Yoyo Dasriyo

DESAIN poster film “Frieda” sangat sederhana! Hanya menampangkan profil Grace aris pendatang berdarah Indo, pemeran utama mendampingi aktor (alm) S Bono, ayah artis Rini S Bono. Siapa sangka, jika di balik kesederhanaan itu, kelahiran film “Frieda” (1950) karya dr Huyung, membukukan kesaksian sejarah yang tersembunyi, sebagai keberanian pertama film Indonesia menjual adegan ciuman antara S Bono dan Grace.

Dalam kondisi kehidupan sosial yang masih “mentabukan” adegan ciuman di layar putih, “Frieda” jadi film yang banyak dihujam kritik keras atas keberanian Huyung dalam garapan film pertamanya. Terlebih karena saat itu insan film nasional baru belega hati atas kelahiran film “Darah Dan Doa” karya (alm) H Usmar Ismail, yang syuting pertamanya 30 Maret 1950 jadi tonggak momentum penting Hari Film Nasional.

Tetapi, bukan tanpa alasan, Huyung membuat film bersuhu panas itu. “Dari aspek cineas,keberanian Huyung menampilkan adegan panas bisa dibenarkan. Film ‘Frieda’ memang membawa misi sosial dan politik. Anjuran hidup asimilasi! Huyung menganjurkan kaum Indo untuk memilih dan mencintai Indonesia” begitu pernah diungkapkan (alm) Soemardjono, tokoh perfilman yang pernah jadi anak didik Huyung dalam wadah Cinodrama Kine di bawah YSHM (Yogya Stichting Hibutan Mataram), pimpinan Sri Sultan Hamengkoe Boewono IX (1948).

D balik pergelaran Festival Film Indonesia (FFI) 1984 Yogyakarta, Soemardjono
menuturkan, ambisi Huyung merombak pentas drama dijadikan gedung bioskop (1950) menuai konflik dengan murid-murid pendukungnya. Soemardjono serta sejumlah seniman lainnya menyatakan mundur. Tahun itu pula, Huyung dokter asal Korea bernama asli Sinatsu Heitaro yang menerjuni teater di Yogyakarta, hijrah ke Jakarta. Hanya Subono (S Bono) yang ikut jejak Huyung ke dunia film, hingga dibintangkan dalam film “Frieda”.

Film Frieda” diangkat dari novel “Antara Bumi Dan Langkit” karya Armyn Pane. Bekisah tentang perbedaan tajam status sosial, dan jurang pemisah kehidupan pribumi dengan golongan Eropa. Karenanya, film itu melukiskan romantisme gadis Indo, dengan seorang dokter pribumi kelas bangsawan. Tetapi film panas yang mengumbar adegan ciuman itu, belum bersahabat dengan kondisi dan pasar film negeri ini. Bahkan Huyung yang dikenal sebagai tokoh kontroversial. di dunia teater Yogyakarta.seolah terlanjur dianggap sutradara film “panas”. Film lainnya, “Gadis Olah Raga” dan “Bunga Rumah Makan” dari novel Utuy Tatang Sontani, turut layu di pasar film.

Apapun kenyataannya, dr Huyung sebemarmya pelaku sejarah kepeloporan film nasional bermadu ciuman. Jauh sebelum (alm) Turino Junaedi menggarap film “Djahoma” (Djakarta-Hongkong-Macao) 1968, maupun “Bernapas Dalam Lumpur” (1970). Memang lain dulu, lain pula sekarang. Adegan yang dianggap “panas” itu hanya ciuman, dan tersembunyi di balik kesederhanaan poster film “Frieda”. Dalam perkembangan poster film nasional kekinian, tidak lagi “harus” menyembunyyikan adegan panas.

Banyak gambar panas justru dipajang tidak lagi sebatas adegan ciuman. Poster film nasional dibuat menggoda minat penonton filmnya, dengan tampilan sosok bintang berbusana minim. Tak sedikit dipamer sosok bintang sexy, dengan sembulan dada terbuka, dan paha mulus tersingkap. Ingat lagi di tahun 1971, poster film “Bumi Makin Panas” menjual sosok (alm) Suzanna berbusama tipis, berjongkok sambil melepas celana dalam…. Gila! Poster film dari karya Ali Shahab berformat baliho itu. pernah terpajang depan Bioskop “Garut Theatre” ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *