SENI HIBURAN

Siapa Artis Pelopor Adegan Cium Film Indonesia? Heboh Menjemput Film “Antara Bumi Dan Langit”

Potret sejarah awal adegan kemesraan Grace dan (alm) S Bono dalam film “Frieda” (1950) karya dr Huyung. Film dari novel “Antara Bumi Dan Langit” Itu nyaris luput dari percaturan dan kepeloporan adegan ciuman.   (Istimewa)
Potret sejarah awal adegan kemesraan Grace dan (alm) S Bono dalam film “Frieda” (1950) karya dr Huyung. Film dari novel “Antara Bumi Dan Langit” Itu nyaris luput dari percaturan dan kepeloporan adegan ciuman.
(Istimewa)

Siapa Artis Pelopor Adegan Cium Film Indoneisia? (Bagian 2)

Oleh; Yoyo Dasriyo

Tetapi film berdaya pasar seperti itu dengan pertanggungjawaban filmis, tampil apik dan artistik. Termasuk juga film “Tuan Tanah Kedawung” (Liliek Sujio), maupun “Pengantin Remadja” (alm Wim Umboh) yang sarat cium kemesraan Widyawati – (alm) Sophan Sophiaan. Bukan sekadar adegan tempelan! Selebihnya, eksploitasi seks merambah dalam perdagangan film. Kubu “Agora Film” dengan maskot aktor ganteng (alm) Bambang Irawan, terhitung deras melahirkan film percumbuan “panas”.

Film-film panas gaya “Agora” bermunculan, seperti “Hidup, Tjinta Dan Air Mata”, “Di Balik Pintu Dosa” maupun “Insan Kesepian”. Bintang secantik Widyawati, Noertje Sopandi dan Renny Asmara, pernah jadi pertaruhan pasar untuk ketiga film itu. Di putaran 1970-an, wajah film nasional berlumur darah, seks dan kekerasan. Film nasional tak berwajah lagi Indonesia. Terlalu sedikit, film yang menghormati aspek filmis! Celakanya, justru kiblat komersial itu yang kembali memburamkan daya jual film nasional.

Bursa film adegan ranjang berpuncak, bak para pedagang es di musim hujan! Keruntuhan perfilman pun nasional berulang, justru kental dengan perdagangan formula.film pemuat sensualitas! Formula dagang film pembara kejayaan era Suzanna itu pula, yang turut menidurkan kembali martabat perfilman Indonesia. Cermin sukses film legendaris “Bernapas Dalam Lumpur” itu hanya cerita lama. Tragis, kondisi perfilman dekade 1990-an lebih parah dibanding tahun 1960-an.

Ulang keruntuhan itu menyungkurkan industri perfilman nasional. Mega hitam lebih menebal dalam era 1990-an. Tak hanya menghentikan tradisi Festival Film Indonesia (FFI), namun menamatkan pula riwayat perbioskopan! Memang, terlalu deras film yang mencampakkan tatanan aspek filmis, Pangsa pasar film Indonesia lalu tersekap lara panjang, Konsumen film nasional mengering. Dalam keterpurukan seperti itu, Turino Junaedi pernah berupaya mendaur-ulang magnet film “Bernapas Dalam Lumpur” (1991).

Tetapi film versi baru itu terbenam ke dalam keluh berkepanjangan para insan perfilman. Kebangkitan kembali film nasional, sekian lama jadi kegelisahan. Padahal, “Bernapas Dalam Lumpur” versi baru, “menjual” keberanian bintang panas Meriam Bellina pengganti Suzanna. Pamor Rano Karno diusung, mengisi peran (alm) Rachmat Kartolo. Kalaupun begitu filmnya tak berdaya menyalakan lagi api industri perfilman nasional.

Muara nasib film nasional terjerat lagi lara panjang. Kenyataan itu ulang-sejarah kedukaan masa lalu. Namun selepas kelahiran “Petualangan Sherina” (2003), yang mampu membangkitkan lagi industri pefilman nasional, ternyata masih juga produser film tergoda menjual sensualitas berselubung horor. Kesuburan film berlumur seks, kembali menyulut pergunjingan. Namun gejala buruk yang berpotensi menghantui kehancuran perfilman itu mampu ditebas, dengan perwajahan film-film bermartabat terpuji.

Benarkah Mila Karmila artis pelopor adegan cium dalam film Indonesia? Tokoh perfilman, (alm) Soemardjono pernah mengungkapkan di Yogyakara (1984), pelopor adegan ciuman dalam film negeri ini bertolak dari kelahiran film “Frieda” (1950) karya dr Huyung, yang mengemas novel “Antara Bumi Dan Langit” karya Armyn Pane, membintangkan (alm) S Bono dan Grace, pendatang berdarah Indo. Huyung, seorang dokter asal Korea, bernama asli Sinatsu Heitaro, yang dikenal sebagai tokoh teater di Yogyakarta.
Film “Frieda” mengisahkan percintaan gadis Indo dengan dokter pribumi kelas bangsawan, yang direntang jurang pemisah. Heboh yang menjemput kelahiran film itu, ternyata tidak menguntunglan pasar filmnya. Adegan ciuman dalam kondisi saat itu masih dianggap “tabu”! Film “Frieda” tengelam dari percaturan. Bahkan, film lain karya Huyung seperti “Gadis OLah Raga” dan “Bunga Rumah Makan” (1951) pun tak mampu memenangi pasar filmnya. Kalah populer dari film “Si Pintjang”, “Enam Djam Di Jogya” maupun “Sampai Berjumpa Pula”.

Sepi penonton film “Frieda” seolah menggusur nama S Bono dan Grace dari sejarah kepeloporan adegan ciuman. Terlepas dari sejarah kepeloporan ciuman yang terlupakan, cermin buram kejayaan dan keruntuhan perfilman masa silam, mestinya dijadikan kajian berharga untuk kelangsungan perfilman nasional. Perwajahan film dan sinetron kekinian harus variatif dan terpuji. Bukan sekedar jadi ekspresi bisnis, berwajahkan film dan sinetron serampangan yang dipasok hanya untuk meladeni kebutuhan jam tayang… .***

(Selesai)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *