PROFIL

Pemuda Ini Bebaskan Warga Buta Hurup Dengan Pola ‘Masagi’

Heri Muhamad Tohari, Pemuda Penggiat Prgram Masagi dalam memberantas buta hurup, foto JSN

Gapura Garut – Awalnya tidak pernah terpikir bagaimana caranya mengubah cara pandang warga yang enggan bersekolah, bahkan sebatas untuk membaca buku. Namun hal itu tidak berlaku buat Heri Muhammad Tohari, lulusan Universitas Gajah Mada (UGM).

Melalui wadah Creative Institute, ia bersama beberapa rekan seangkatannya, rela turun gunung untuk membantu masyarakat agar terbebas dari buta hurup alias buta aksara tersebut.

“Yang penting ada kemauan, dan kita tahu situasi kondisi sosial di masyarakat itu,” ujar dia, saat ditemui di kampung buta hurup, Kampung Pasir Gelang, RT 03 RW 2, Desa Mekaejaya, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Kamis, 4 Mei 2017.

Heri menuturkan, saat pertama kali datang ke kampung Pasir Gelang, mayoritas anak-anak belum mengetahui nama lonceng, kereta api dan komputer, bahkan diantaranya sama sekali ada yang tidak tahu ketiganya. “Padahal TV ada, listrik ada namun cara belajar mereka sangat jauh sekali tertinggal,” kata dia.

Namun seiring berjalannya waktu, ia kemudian menawarkan suatu konsep belajar yang memadukan sisi spirirualitas dan potensi budaya lokal. “Akhirnya kami mengajak mereka belajar di alam dengan memadukan main sambil belajar,” kata dia.

Heri bersama tim yang dibentuknya kemudian, membuat sebuah konsep belajar Masagi (Maca Sakali Ngarti) atau Membaca Sekali Faham. ia membawa anak-anak buta huruf itu, belajar membaca di alam terbuka dengan dengan ‘kaulinan barudak’ atau kebiasaan belajar anak-anak. “Ternyata mereka mudah mengerti dan mau belajar bahkan sekolah,” ujarnya.

Hendra Tohari, salah satu peneliti tim Creative menambahkan, salah satu kendala yang dihadapi saat pertama kali membina masyarakat terutama anak-anak buta huruf adalah belum ditemukannya pola yang pas agar mereka menerimanya. “Mungkin saja murid tidak mau belajar karena metodenya yang tidak tepat,” ujarnya.

Kini dalam tiga tahun paska pertama kali dibina sejak 2014 lalu, tingkat partisipasi masyarakat dan anak-anak untuk belajar terus naik. “Dulu paling 20-30 persen anak-anak mau sekolah, sekarang sudah 70 persen, mereka jadi semangat belajar,” kata dia dengan antusias.

Bahkan cara pandang mengenai hidup sehat yang merupakan faktor utama keterpurukan masyarakat di kampung itu pun telah berubah drastis. “Sekarang masyarakat mau mandi dan pakai sabun, dulu boro-boro mereka mau mandi,” ujarnya.

Heri kemudian membeberkan data person hygiene masyarakat Kampung Pasir Gelang dalam tiga tahun terakhir, atau tepatnya paska timnya masuk kampung itu.

Dalam responden sample yang ia teliti, persen, hanya di bawah 25 persen warga yang mau mandi, sebanyak 28,7 persennya mau memakai sabun, sementara sisanya atau sekitar 72,3 persen enggan menggunakan sabun.

Tak ayal dari jumlah total responden 5.783 itu, sekitar 43 persen masih buka aksara dengan tingkat partisipasi untuk belajar hanya sekitar 30 persen, namun kini angka partisipasi masyarakat untuk sekolah sudaj di atas 70 persen.”Awalnya mereka belajar tidak mau mandi, sekarang Alhamdulillah sudah terbiasa mandi dan hidup sehat,” kata dia.

Cimah Rumanta, salah satu warga kampung Pasir Gelang mengakui cara belajar Masagi yang dipadukan dengan ‘kaulinan barudak’ sangat membantu mengajak anak-anak kampung untuk belajar. “Anak-anak jadi mau belajar dengan antusias,” kata dia.

Ia berharap dengan semakin meningkatnya angka partisipasi belajar warga, tim pembelajar yang akomodasi Creative Institute bisa menambah kiprahnya sehingga mampu mengubah pola pandang masyarakat. “Tidak mudah, namun memang butuh waktu dan perjuangan,” kata dia.***JSN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *