PERISTIWA

Orang Tua Kehilangan Mata Pencaharian, Puluhan Siswa Terancam Putus Sekolah

Gapura Garut,-Para orang tua dilarang berjualan asongan distasiun kereta api, puluhan siswa di Kampung Pasar Stasiun Cipeundeuy, Desa Cikarag, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat, terancam putus sekolah.

Mereka adalah anak-anak dari para pedagang asongan yang biasa beraktivitas di sekitar Stasiun Cipeundeuy, dengan munculnya aturan tidak diperboolehkan pedagang asongan berjualan distasiun maka mata pencaharan para orang tua siswa kini terputus dan tidak bisa lagi membiayai kebutuhan sekolah anak-naknya.

Kebijakan larangan beraktivitas untuk para pedagang asongan di stasiun yang diberlakukan PT Kereta Api Indonesia (KAI) beberapa waktu lalu, praktis membuat penghasilan orang tua mereka berkurang. Para pedagang, terusir secara paksa karena kebijakan sterilisasi stasiun ini.

Warga Kampung Pasar Stasiun Cipeundeuy, Dedi (60), mengungkapkan dia kini tidak memiliki penghasilan apapun untuk membiayai hidup sehari-hari. Alih-alih untuk kebutuhan rumah tangga, biaya sekolah bagi kedua putranya yang duduk di bangku SMK dan SMP pun kini sama sekali tidak ada.

“Dari mana saya bisa membiayai hidup keluarga dan anak-anak sekarang. Penghasilan tidak ada karena sekarang dilarang jualan,” kata Dedi, Senin (3/11/2014).

Dia menambahkan, selama ini kedua anaknya juga jarang berangkat ke sekolah. Dalam seminggu, mereka paling bersekolah hanya dua atau tiga kali.

“Berangkat ke sekolah juga harus mengeluarkan uang. Minimal untuk ongkos dan uang saku mereka. Ongkos anak saya pulang pergi dari rumah ke sekolah dan sebaliknya naik elf atau bis adalah Rp10 ribu seorang. Karena anak saya dua, jadi biaya untuk ongkos yang harus dikeluarkan Rp20 ribu. Belum untuk uang sakunya masing-masing Rp5.000. Jadi jika anak-anak sekolah, dalam sehari saya harus mengeluarkan uang Rp30 ribu,” ungkapnya.

Menurut Dedi, sebelum PT KAI memberlakukan aturan itu, dirinya mampu mengantongi uang hasil berjualan sebanyak Rp60 ribu dalam satu hari.

“Sekarang jangankan Rp60 ribu, uang Rp10 ribu pun susah didapat,” ujarnya.

Kenyataan yang dialami oleh Dedi dan keluarganya juga dirasakan oleh para pedagang lainnya. Nasib mereka sama-sama menjadi semakin tercekik ketika kebijakan larangan berjualan dari PT KAI itu benar-benar diberlakukan sepenuhnya.

Ketua Paguyuban Pedagang Asongan Pasar Stasiun Cipeundeuy, Wawan, mengaku kehidupan yang dialami para pedagang saat ini sangat sulit untuk dijalani

“Sekarang, ekonomi kami sebagai pedagang morat-marit. Sangat jauh untuk membicarakan biaya sekolah, biaya buat makan sehari-hari saja kejepit. Harus ngutang sana-sini,” katanya.

Wawan pun mengutarakan kesulitan yang dia alami. Agar bisa membeli beras, dia terpaksa menggunakan uang simpan-pinjam dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang seharusnya digunakan untuk modal usaha.

“Saya bahkan sampai nekat meminjam uang PNPM buat membeli beras. Padahal sebenarnya bukan itu (beli beras) peruntukannya, tetapi untuk usaha. Namun mau bagaimana lagi agar bisa tetap bertahan hidup,” ujarnya.
Wawan menyebut, sebelum peraturan baru diberlakukan pada pertengahan 2014 lalu, jumlah pedagang asongan di Stasiun Cipeundeuy tercatat berjumlah sebanyak 150 orang. Kini jumlah pedagang yang masih bertahan hanya tinggal sekitar 30 orang saja.

“Itu juga jualannya sambil kucing-kucingan sama petugas berseragam yang disuruh pihak PT KAI. Mending kalau penghasilannya tetap sama dengan waktu dulu. Sekarang sudah jualannya sembunyi-sembunyi, penghasilan pun hanya Rp5.000 sehari,” Ucapnya.TG

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *