HUKUM KRIMINAL PERISTIWA

Meski Tunjangan Jomplang, Para Jaksa di Garut Tidak Ikut Mogok

Kepala Kejaksaan Negeri Garut Agus Suratno saat menunjukan surat edaran dari Kejagung, terkait rencana aksi mogok para Jaksa.
Kepala Kejaksaan Negeri Garut Agus Suratno saat menunjukan surat edaran dari Kejagung, terkait rencana aksi mogok para Jaksa.
Gapura Garut ,-  Meski sebagian jaksa didaerah lain dikabarkan melakukan mogok kerja dengan alasan  menuntut kenaikan gaji. Para Jaksa merencanakan  aksi damai sebagai bentuk protes menyusul masih jomplangnya perbedaan tunjangan antara hakim dan jaksa dengan melakukan mogok kerja.
Di Kabupaten Garut, Jawa Barat, aksi damai sebagai bentuk protes atas jomplangnya perbedaan besaran tunjangan antara hakim dan jaksa ini, tidak dilakukan meski seluruh jaksa meminta agar tunjangan mereka dinaikan.
“Agenda persidangan tetap berjalan normal. Semua bertugas seperti biasa. Kami akan tetap menjalankan perintah dari pimpinan seperti isi dalam surat yang diterima beberapa hari lalu,” kata Agus Suratno, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Garut  saat dijumpai dikantornya Kamis (11/9/2014).
Meski tidak dengan melakukan aksi mogok, Agus menyatakan sependapat dengan tuntutan para jaksa di seluruh Indonesia yang sebelumnya meminta kenaikan tunjangan. Dia menilai, perbedaan tunjangan antara hakim, panitera, dan jaksa saat ini sangat jauh dan terkesan tidak adil.
“Secara pribadi, kami menyetujui akan tuntutan itu (kenaikan tunjangan). Sebab besaran (tunjangan) yang diterima berbeda dengan beban tugas pekerjaan. Memang tugas dan tanggung jawab hakim lebih besar, namun tugas dan tanggung jawab jaksa di lapangan jauh lebih berat. Resiko pekerjaan jaksa di lapangan sangat berat karena bersentuhan langsung dengan perkara-perkara sulit. Salah melangkah, karir jaksa menjadi taruhannya,” ungkapnya.
Agus menyebutkan, besaran tunjangan yang diterima hakim berbeda 10 kali lipat dari apa yang didapat dari seorang jaksa.
“Bayangkan saja, seorang hakim golongan IVB mendapat tunjangan sebesar Rp17,5 juta, sementara tunjangan jaksa golongan IVB hanya berkisar Rp1,75 juta”, Tegasnya.
Demikian juga dengan seorang panitera golongan III tunjangannya Rp6 juta. Perbedaan tunjangan ini sangat jauh, bahkan beban dan tanggung jawabnya jauh lebih berat.
“di Kejaksaan para jaksa terpaksa harus merogoh kocek sendiri jika harus melakukan pekerjaan memanggil saksi ke pelosok pedesaan. Sama sekali tidak ada uang operasional untuk tugas tersebut,” ucapnya.
Menurut Agus, polemik atas perbedaan tunjangan ini telah terjadi sejak 2013 lalu. Pada 2013, tunjangan hakim naik menjadi Rp17,5 juta, sementara kenaikan tunjangan panitera menjadi Rp6 juta terjadi pada awal 2014.
“Beberapa waktu lalu, pimpinan kami di pusat sudah mencoba membahas masalah ini kepada Menkeu (Menteri Keuangan). Setelah dari Menkeu, bahasan ini berlanjut ke Menpan (Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara),” Imbuhnya.
Perubahan besaran tunjangan semenjak disampaikanya usulan sempat ada perubahan, namun masih relatif jauh dengan hakim dan panitera, yaitu hanya menjadi Rp 3,5 juta saja.
“Maka sebuah reaksi yang wajar jika  kemudian muncu di jejaring sosial akan adanya rencana aksi damai mogok kerja itu,” Pungkasnya.***jmb

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *