PARIWISATA BUDAYA

Mahalnya Tiket Masuk TWA Papandayan Kembali Dikeluhkan Pengunjung

Kawah gunung papandayan foto dok
Kawah gunung papandayan foto dok
Gapura Garut ,- Sejumlah pendaki Gunung yang berasal dari berbagai daerah diluar Kabupaten Garut kembali mempertanyakan soal mahalnya tarif masuk kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Papandayan yang selama ini menjadi favorite mereka.
Para pendaki tersebut terpaksa kembali mengurungkan niatnya untuk memasuki kawasan TWA Papandayan tiket untuk masuk ke Papandaya dinilainya terlalu mahal jika dibandingkan sengan sejumlah TWA atau lokasi pendakian lainnya di Indonesia.
“Masuk Taman Nasional Gunung Pangrango dan Gede saja harganya tiketnya tidak segitu, paling mahal Rp 32.500 untuk wisatawan domestik di week end per orang dan hari biasa Rp 27.500 untuk dua hari satu malam plus asuransi,” Kata Hendra (29) pendaki asal Bandung saat ditemui, Minggu (14/8/2016).
Hendra bersama rekan-rekannya terpaksa merubah rencana pendakiannya di Garut setelah mengetahui dengan mata kepala sendiri bahwa tiket masuk Papandayan benar-benar mahal.
Ia lebih memilih mendaki Gunung Cikuray karena harga yang ditawarkan masih sangat terjangkau dan tidak jauh dengan harga rata-rata masuk kekawasan TWA lainnya di Indonesia.
“Sebelumnya saya memang sudah mendengar adanya kenaikan harga tiket masuk Papandayan ini, tapi tidak begitu saja percaya kalau tidak mengalami secara langsung. Tapi rupanya memang benar, ketika masuk harganya terlalu kalau menurut buat saya”, Tuturnya.
Hedra mengaku  tidak habis fikir dengan  Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) yang memberikan ijin kepada pihak swasta untuk pengelolaan salah satu gunung idaman para pendaki di Indonesia itu.
Padahal sepengetahuannya pengelola Gunung Papandayan saat ini memiliki citra buruk di pandangan masyarakat umum karena kasus terakhirnya dengan warga di Bandung terkait pengelolaan Gunung Tangkuban Parahu.
“Saya terlalu yakin jika pasca kenaikan ongkos untuk bisa menikmati panorama Papandayan semua akan berfikir ulang dan pasti akan memilih tempat lain, untuk Garut kemungkinan hanya akan memilih Cikuray dan Guntur. Tapi yang saya yakini juga, dengan kenaikan harga ini citra wisata Garut akan rusak, buktinya di medsos sudah banyak klaim Garut sebagai kota mahal”, Paparnya.
Sementara itu Ketua Forum Penyelamat Lingkungan Hidup (FPLH) Jawa Barat, Thio Setiowekti mengaku kaget saat mengetahui pengelolaan papandayan diserahkan kepada pihak swasta.
Menurutnya, selama ini pihak kementrian terkait tidak pernah secara terbuka melakukan uji publik terkait pengelola wisata alam yang ada di Indonesia, khususnya Jawa Barat.
“Aspek legal mereka yang mengelola Papandayan tentu pada akhirnya dipertanyakan, sehingga ini seakan menjadi bancakan tertutup oknum di Jakarta karena pemerintah tidak melakukan lelang terbuka untuk pengelolaannya”, Ujarnya.
Thio menuding selama ini memang pemerintah tidak pernah melakukan secara terbuka terkait hal-hal yang menyangkut persoalan tersebut.
“Parahnya lagi Pemerintah daerah Garut barangkali tidak melakukan usulan sebelumnya , padahal bisa dilakukan dengan  melihat peluang yang bisa menjadi kekuatan ekonomi dan sosial bagi masyarakat sekitar”, Paparnya.
Gunung Papandayan menurutnya memiliki banyak keunikan dan keunggulan yang secara aspek pariwisata bisa menguntungkan jika kajiannya jelas menyeluruh dan terarah serta tepat.
“Apalagi ini pengelolanya personal, dan kalau sudah terkait dengan personal pengelolaanya saya meragukan itikad baik dari pengelola yang satu atap dengan Tangkuban Parahu. Buktinya saja Gunung Tangkuban Parahu yang semakin hari semakin menurun kualitas kawasannya, ini menunjukan bahwa kapasitas dan kapabilitasnya meragukan,”Tandasnya.
Thio berharap agar setelah mulai dikelolanya Papandayan ini pemerintah daerah Garut tidak tinggal diam, tapi harus lebih banyak mengontrol dan mengawasi bagaimana kaidah konservasi yang dilakukan oleh pengelola.
“Hal itu harus dilakukan karena saya meyakini jika semakin hari daya dukung alamnya akan semakin menurun karena pengelola hanya akan berfokus pada sektor bisnisnya saja. Selain itu juga pertanyaan saya, bagaimana dengan PNBPnya (Penerimaan Negara Bukan Pajak) diterima tidak oleh Garut”, Ucapnya.
Berkaca dari pengalaman pengelolaan Gunung Tangkuban Parahu, lanjut Thio sejauh ini  PNBPnya tidak pernah masuk sepeser pun ke Bandung Barat dan Subang.
“Dalam konteks Papandayan, Pemda Garut sebagai pemegang kawasan administratif harus sensitif dan rajin mengkoreksi pelaksanaan pada pemanfaatan kawasaan, apakah mengganggu alam atau masyarakatnya? ,   atau masyarakat hanya menjadi penonton saja”, Sindirnya.
Thio memprediksi,  bukan tidak mungkin setelah kawasan tersebut dijadikan kawasan komersial masyarakat sekitar malah kemudian tersingkir dan tidak mendapatkan apapun dari pengelolaan kawasan tersebut.***Margogo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *