PARIWISATA BUDAYA

Nostalgia KA “Si Gombar” di Garut: Kereta Kemalaman, Nyalakan Api Cinta..

Kenangan klasik kejayaan KA “Si Gombar” Garut, saat memburu Cibatu. Luapan penumpang menyesak hingga ke bagian lok. Asap berpasir panas dari cerobong lok KA, berhambur sepanjang perjalanan. (Foto Istimewa)
Kenangan klasik kejayaan KA “Si Gombar” Garut, saat memburu Cibatu. Luapan penumpang menyesak hingga ke bagian lok. Asap berpasir panas dari cerobong lok KA, berhambur sepanjang perjalanan.
(Foto Istimewa)

Nostalgia KA “Si Gombar” di Garut: Bagian (4)

Oleh: Yoyo Dasriyo

BENAR, Si Gombar pernah berganti wajah lokomotif diesel. Tetapi, kereta modern itu tak bisa melumat beratnya tanjakan rel, yang membelah lahan berbukit di kawasan Cikajang. Sungguhpun begitu, kalangan mantan karyawan Perumka Garut meyakini, keruntuhan harga pelayanan kereta api bukan karena ketuaan lokomotif. Justru, akibat pergantian bahan bakar! Waktu lok uap itu menggunakan bara arang batu, tenaga kereta api sangat prima.

Jarak tempuh bermedan berat seperti Garut – Cikajang, hanya membutuhkan waktu 1,5 jam. Setelah berganti kayu bakar, tenaga “Si Gombar” mulai merosot! Terlebih akhir 1970-an, saat bahan bakarnya berisi minyak residu. Keperkasaan “Si Gombar” menghela rangkaian panjang gerbong penumpang, dan gerbong barangnya berlalu. Kondisi gerbong para penumpang pun banyak merana. Langit-langitnya dibiarkan bocor. Tetes air hujan, membasahi sebagian tempat duduk.

Sejumlah penumpang pun terpaksa memilih berdiri. Ketika mentari menyusup liar dari celah atap gerbong, semua menghindari sengatan panas. Belum lagi tempat duduk dikotori ragam tapak sepatu. Di dinding gerbong, berhias tulisan tak sedap! Dari coretan porno, hingga curhat kasmaran. Dinding dan sandaran tempat duduk, difungsikan sebagai lahan “surat cinta terbuka” antar remaja! Daun jendela berbahan kayu jati macet. Saat jendela tarik itu terlepas dari atas, penumpang pun tersentak.

Manakala orang melepas pandang di batas jendela, menikmati “AC alam”, sering pula mengaduh. Matanya kelilipan kepulan asap berpasir, dari cerobong asap lokomotif. Para penumpang tak bisa menghindar, waktu pasir panas menembus pakaiannya. Memang KA ”Mutiara Hitam” kelas ekonomi itu darurat, tetapi amat bersahabat dalam kehidupan masyarakat. Orang tak perduli harus menyalakan lilin atau lampu senter, ketika kereta api itu kemalaman di perjalanan.

Saat-saat seperti itu, justru gejolak asmara remaja membara. Kenangan cinta di kereta pun, memanjangkan kisah kasih masa silam! Keprihatinan atas kondisi gerbong penumpang kian memburuk, dengan bencana aksi Gunung Galunggung 1982. Muntahan hujan debu, melapis atap dan dinding gerbong penumpang. Sekali waktu kereta datang ke Stasiun Garut, hanya mengangkut gerbong dengan penumpang terbatas. Di lain hari, KA dari Cibatu hanya menarik gerbong barang.

Orang masih saja berdesakkan dalam gerbong barang. Bahkan ketika lok KA datang tanpa gerbong, sejumlah orang rebutan naik ke badan lok. Selebihnya berjejal di ruang masinis. Jadwal kedatangan KA tak lagi pasti. Baik dari jurusan Cibatu, maupun dari Cikajang. Pembatalan kedatangan KA pun membudaya. Citra jasa pelayanan perkereta-apian di Garut lalu memudar. Di tahun 1984, Perumka tak kuasa lagi menanggung resiko operasional KA yang makin memberat.

Setelah menjalani lara berkepanjangan, trayek KA Garut – Cikajang dihentikan. KA Garut – Cibatu yang sempat timbul tenggelam, hilang tanpa kabar. Riwayat perkereta-apian Garut pun tutup layar! Apapun kenyataannya, namun tidak juga menyapu kerinduan warga dalam menanti kehadiran kereta api. Lokomotif “Si Gombar” selalu hidup dalam penantian. Bukan hanya karena belum tersedia fasilitas angkutan umum (angkot), namun tragedi keruntuhan layanan jasa KA di Garut, selalu dikabarkan hanya sementara.

Hanya menunggu peremajaan gerbong penumpang. Berasalan, jika anak-anak sekolah alias “anak kereta”, acapkali berspekulasi menunggu kereta api di peron stasiun. Mereka tidak perlu membeli karcis, karena mengantongi kartu abunomen. Ongkos pun relatif murah. Banyak warga yang berdomisili di pedesaan, merasa lebih praktis naik KA, karena rumah mereka lebih dekat dijangkau dari lokasi halte. Dalam kecintaan konsumennya, ternyata riwayat KA di Garut harus selesai ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *