PARIWISATA BUDAYA

Nostalgia KA “Si Gombar” di Garut: Aksi Hewan Liar Menebar Kecemasan

Potret kenangan dari suasana keramaian di Stasiun KA Garut, saat lokomotif uap “Si Gombar” datang dari Cibatu. Di masa kejayaan “Si Gombar”, tidak sembarang orang bisa lalu-lalang memasuki kawasan stasiun KA.  (Istimewa)
Potret kenangan dari suasana keramaian di Stasiun KA Garut, saat lokomotif uap “Si Gombar” datang dari Cibatu. Di masa kejayaan “Si Gombar”, tidak sembarang orang bisa lalu-lalang memasuki kawasan stasiun KA.
(Istimewa)

Nostalgia KA “Si Gombar” di Garut: Bagian (5)

Oleh: Yoyo Dasriyo

BANYAK faktor penyebab, yang turut meruntuhkan masa kejayaan perkeretaapian di Garut. Lunturnya kedisiplinan, dan tidak ada rasa saling-memiliki, merupakan mata rantai yang tak terpisahkan. Begitu banyak orang bangga, naik kereta tanpa bayar. Bebas dari pemeriksaan kondektur. Ketentuan bayar denda di dalam kereta pun, tidak lagi setegas dulu. Padahal, di masa KA “Si Gombar” berjaya, pernah diberlakukan banyak aturan ketat.

Bermacam ketentuan dengan ketegasan petugas PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) itu, menegakkan citra perkeretaapian di Garut. Sampai dekade 1970-an, untuk melintas ke kawasan stasiun saja, tidak boleh sembarang orang. Orang tak bisa seenaknya lalu-lalang ke Stasiun KA Garut. Bentangan jalur rel kereta api pun, selalu dijaga ketat. Sangat terlarang berjalan kaki melintas rel kereta. Di areal Stasiun KA Garut, semua tepian rel kereta api terpagar kawat berduri.

Ketika diketahui seseorang menyeberangi rel, secepat itu petugas di stasiun KA memburu sambil meniup peluit. Terlebih, saat orang melintas ke peron stasiun, sang petugas bergegas mencegat langkah. Sikap kondektur kereta pun sangat berwibawa. Dari gerbong ke gerbong penumpang kareta, kondektur memeriksa tiket penumpang. Tidak ada penumpang berani naik “Si Gombar” tanpa bayar! Kalaupun tak sempat antre karcis di loket stasiun, diharuskan membayar harga duakali lipat.

Jika tidak mau menanggung denda, sang penumpang harus turun di halte terdekat, sebelum sampai ke tempat tujuannya. Resiko itu juga sebagai hukuman, bagi penumpang yang diketahui tidak membeli tiket! Penegakan kedisiplinan seperti itu, pernah jadi harga mati dalam pemanjangan umur layanan jasa KA “Si Gombar” di Garut. Kini semua tertinggal dalam kepingan kenangan, dari romantika sejarah panjang tentang perkeretaapian di Garut.

Masih juga membasah dalam ingatan, saat gerbong barang kereta api di depan gudang, menurunkan muatan puluhan sapi dan kerbau. Badan Jl Mandalagiri yang menghubungkan ke lokasi gudang KA di Jl Mawar, mendadak sesak dengan armada hewan. Arak-arakan kerbau dan sapi, lalu bergalau hilir-mudik manusia di tengah perkotaan. Iring-iringan hewan digelandang ke Pasar Hewan di Jl Guntur. Selebihnya digiring ke kawasan kampung Pajagalan untuk dieksekusi!

Tempat pemotongan hewan pun, tak jauh dari lokasi Pasar “Garoet”. Tepatnya di belakang Klinik Pengobatan, yang kini jadi Puskesmas Guntur, berseberangan dengan Kelenteng. Sebelum sampai ke Pajagalan, semua hewan diarak melintasi Jl Mandalagiri dan Jl Guntur, bersambut lalulintas delman peramai wajah depan pasar. Itu pemandangan rutin di jalan lintasan hewan potong. Jauh sebelum lokasi pemotongan hewan dialihkan ke utara perkotaan di Ciawitali, dan wajah “Pasar Garoet” berganti pertokoan “Garut Plaza”.

Namun, iring-iringan sapi dan kerbau dari kereta api, tidak selalu jadi tontonan warga kota di pagi hari. Terkadang, berbalik menebar kecemasan. Kepanikan mencekam semua orang, saat seekor kerbau atau sapi liar mengamuk. Kabur dari arak-arakannya. Hewan liar terus berlari, tak tentu arah! Semua orang panik berhamburan. Pengiring hewan pun mendadak kalangkabut. Memburu hewan yang minggat! Seruan kepanikan dari arah hilir Jl Mandalagiri, bersahutan minta bantuan mencegat hewan liar.

Di lain sisi, terdengar jerit ketakutan orang, yang cemas diseruduk hewan ngamuk. Mereka terpaksa harus melarikan ketegangannya ke perkampungan terdekat. Di lain waktu terkabar pula, seekor kerbau gila kabur dari pejagalan. Orang yang tengah belanja di pasar pun tersentak…Suasana pagi yang nyaman, berganti jadi pemandangan berkabut kecemasan. Serpihan kenangan di wajah perkotaan Garut itu, sebenarnya bagian dari suasana kejayaan perkertaapian ***.

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *