GAPURANA

Hari Perhubungan Nasional : KA “Si Gombar” Pernah Bertrayek Garut – Bandung

Lokomotif legendaris “Si Gombar” menghela gerbong penumpangnya, tengah melintasi jembatan ke kawasan Cikajang, Garut. Tak banyak lagi diingat orang, tahun 1955 pernah digelar layanan jasa KA Garut - Bandung.  (Foto: Istimewa)
Lokomotif legendaris “Si Gombar” menghela gerbong penumpangnya, tengah melintasi jembatan ke kawasan Cikajang, Garut. Tak banyak lagi diingat orang, tahun 1955 pernah digelar layanan jasa KA Garut – Bandung.
(Foto: Istimewa)

Hari Perhubungan Nasional (Bagian 3):

Oleh: Yoyo Dasriyo

BANYAK orang berspekulasi. Memaknai peristiwa ganjil di Batu Tumpang itu, sebagai isyarat “keterbukaan alam”, menjemput pembangunan jalan rel kereta api ke pesisir selatan Garut. Namun, tafsiran itu hanya obsesi. Penantian lama untuk kembalinya layanan perkeretaapian di Garut, justru bersambut kenyataan lain. Warga Garut kehilangan. Kereta yang didamba, tak pernah kunjung tiba. Karenanya, warga Garut tersentak, saat suatu sore di tahun 1984 kereta api itu muncul. Tanpa gerbong penumpang.

Berulangkali terjadi, lok “Si Gombar” datang dari Cibatu ke stasiun Garut hanya menghela rangkaian gerbong tanki. Diketahui kemudian, saat itu pengoperasian KA Cibatu – Garut hanya untuk memasok BBM ke PTG. Kondisi kereta api pun sudah sakit-sakitan. Laju lok uap legendaris “Si Gombar” tak mampu berpacu lagi dengan waktu. Bunyi lengkingan hatongnya melemah. Gemuruh lok harus tersenggal-senggal. Lokomotif bertenaga uap itu, hanya bertaruh sisa tenaga masa lampau.

Acapkali terkabar, keperkasaan “Si Gombar” sulit menaklukkan tanjakan tajam memanjang dan menikung di kawasan Cikajang. Lalu, lok kereta pun berganti tenaga diesel. Namun kekuatan lok modern itu, masih juga bermasalah dalam melumat tanjakan rel, yang membelah lahan berbukit. Kenyataan prihatin itu diyakini kalangan mantan karyawan Perumka Garut, bukan akibat dari ketuaan lokomotif, justru karena pergantian bahan bakarnya!

Semasa lok uap itu menggunakan bara arang batu, tenaga “Si Gombar” sangat prima. Jarak tempuh bermedan berat dari Garut ke Cikajang, mampu dicapai selama 1,5 jam. Dengan berbahan kayu bakar, tenaga lok kereta api merosot. Lebih parah lagi jelang akhir 1970-an, setelah bahan bakar digantikan minyak residu. Keperkasaan “Si Gombar” jadi cemoohan. Gerbong penumpang pun digerus kemeranaan. Langit-langitnya dibiarkan bocor.

Sebagian tempat duduk para penumpang, dibasahi tetes air hujan. Berkas sinar matahari pun, menyusup liar dari celah atap gerbong. Tak sedikit tempat duduk dikotori tapak sepatu. Dinding gerbong banyak coretan porno, dari tangan-tangan iseng. Daun jendela macet. Terkadang, jendela tarik itu lepas dari atas. Penumpang pun tersentak. Tiada lagi kenyamanan melepas pandang di batas jendela, karena kepulan asap berpasir panas dari cerobong lok menyapa mata.

Kereta tua ”mutiara hitam” kelas ekonomi itu darurat, tetapi sangat bersahabat dengan masyarakat. Penumpang tak perduli harus menyalakan lilin atau lampu senter, saat kereta kemalaman di perjalanan. Keadaan kian memburuk, dengan terjangan bencana Gunung Galunggung 1982. Sisa hujan debu, melapis atap dan dinding gerbong penumpang. Apapun kenyataannya, masih juga banyak orang mau berdesakkan di gerbong barang.

Ketika kereta datang tanpa gerbong pun, sejumlah penumpang rebutan naik ke badan lok, hingga berjejal di ruangan masinis. Di saat jadwal kedatangan kereta tanpa kepastian, pembatalan pengoperasian KA pun membudaya. Citra jasa pelayanan perkereta-apian di Garut lalu memburam. Tahun 1984, Perumka tak kuasa memikul resiko yang kian memberat. Lara panjang perkeretaapian itu, berujung penghentian trayek KA Garut – Cikajang. Kereta api Garut – Cibatu yang timbul tenggelam, lalu lenyap tanpa kabar.

Namun, “Si Gombar” selalu hidup dalam penantian. Bukan hanya karena belum tersedia fasilitas angkutan umum (angkot) Garut – Cibatu, justru karena tragedi keruntuhan perkeretaapian Garut, selalu terkabar hanya sementara. Menunggu proses peremajaan gerbong penumpang. Dalam ketidakpastian seperti itu, lok “Si Gombar” diberdayakan mengangkut bahan bakar untuk kebutuhan dapur PTG. Sayang, kemitraan Perumka dengan pabrik tenun legendaris Garut itu,tak berlangsung lama, karena dinilai tidak saling menguntungkan.

Kondisi seperti itu pula, yang mengunci pengoperasikan layanan jasa trayek KA Garut – Bandung. tahun 1955. “Dari dulu sudah dicoba! Tetapi, pengadaan KA Garut – Bandung itu kurang diminati konsumennya” begitu kisah yang pernah diungkapkan (alm) M Endang, warga Pangampaan, Kelurahan Pakuwon Garut.
Dalam kecintaan konsumennya, perjalanan riwayat KA di Garut harus selesai. Berselimut lilitan problematika, “Si Gombar” pun tidur panjang… ***

(Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *