GAPURANA SENI HIBURAN

Harga Kesetiaan Profesi di FFB, Persaingan Untuk “Meteor” Perfilman Bandung

Potret kenangan 1988 di Garut. Yoyo Dasriyo dan Ade Irawan, jelang syuting film komedi “Bendi Keramat” garapan (alm) A Harris. Sosok Ade Irawan tercatat sebagai pelaku legenda kejayaan PT “Agora Film” bersama (alm) Bambang Irawan, yang menderaskan perwajahan film populer hari kemarin. (Foto: Dokumentasi Yodaz)
Potret kenangan 1988 di Garut. Yoyo Dasriyo dan Ade Irawan, jelang syuting film komedi “Bendi Keramat” garapan (alm) A Harris. Sosok Ade Irawan tercatat sebagai pelaku legenda kejayaan PT “Agora Film” bersama (alm) Bambang Irawan, yang menderaskan perwajahan film populer hari kemarin.
(Foto: Dokumentasi Yodaz)

Harga Kesetiaan Profesi di FFB (Bagian 3)

Oleh: Yoyo Dasriyo

DAYA jual film berbintangkan Rahayu Effendy menguat. Peringkat keaktrisan ibunda H Dede Yusuf itu kian terpandang, terdukung banyak tampil dalam film pujian karya (alm) Wim Umboh, yang berdaya saing di arena festival. Pamor Rahayu Effendy tak terpadamkan popularitas bintang, yang mengental dengan predikat “bintang panas” dalam suhu perdagangan perfilman era-1970-an, saat berlumurkan formula seks,

Terbukti, laju karier Rahayu mampu mengarungi masa laris keberanian bintang penjual “adegan ranjang”. Kejayaan sang aktris di kancah film nasional, sekian lama berlalu. Tak banyak lagi diingat orang, jika Rahayu Effendy sebenarnya seorang pelaku legenda perfilman. Sekian lama pula namanya tersembunyi, di balik reputasi Dede Yusuf. Bukan tanpa alasan, “Lifetime Achievement Award” FFB 2013 dianugerahkan atas jasa, dan dedikasi Hj Rahayu Effendy.

Baik Rahayu Effendy, Mieke Widjaya, Nani Widjaya maupun Rima Melati, layak mendapat pengakuan anugerah FFB seperti itu, sebagai saksi hidup yang turut memanjangkan kelangsungan perjalanan panjang film Indonesia. Karenanya, penyerahan anugerah kesetiaan profesi yang mentradisi di puncak FFB,mampu menguatkan makna mendalam berharga momentum terindah bagi para mantan primadona perfilman nasional.

Terlebih bagi insan perfilman yang lama tersisih dari percaturan, seperti pernah dijalani (alm) Kusno Soedjarwadi, (alm) Arman Effendy, maupun (alm) Us-Us. Betapapun, tradisi tahunan untuk penganugerahan lambang kesetiaan profesi di Festival Film Bandung, sangat layak dihargai. Kondisi itu menguat dengan masih banyak insan film berdedikasi tinggi, yang masa kejayaannya berlalu dan terlupakan orang. Tak sedikit pula, aktor dan aktris film laris masa lalu, yang sampai akhir hayatnya belum pernah terjaring ke pentas festival film.
Dimungkinkan, mereka kehilangan peluang untuk berkompetisi di arena festival.

Di “kota FFB” pun tercatat pelaku legenda film yang pamornya memudar dalam kondisi kekinian. Sejarah film negeri ini bersaksi, tentang dua bintang bergelar “meteor” perfilman nasional dari Bandung; Mila Karmila dan Lenny Marlina. Lejitan awal reputasi Mila Karmila, membarengi sukses pasar film heroik “Toha Pahlawan Bandung Selatan” (1962) karya (alm) Usmar Ismail. Sang “Bapak Perfilman Nasional” itu pula, membidani kelahiran aktris Lenny Marlina dari film “Ananda” (1970).

Mereka pernah lama berjaya dalam industri perfilman negeri ini. Sungguhpun begiu, jam terbang Mila Karmila dan Lenny Marlina masih harus dipersaingkan dengan sederet nama lain, yang tingkat kelayakannya lebih akurat. Masih ada nama Ade Irawan, El Manik, Pong Hardjatmo, Rina Hassim, Conny Sutedja, Aminah Chendrakasih, Agus Melaz maupun Anwar Fuadi. Mereka penghangat suhu produksi perfilman nasional masa silam, yang eksis hingga era sinetron.

Sebagai pelakon, Ade Irawan tidak sederas penampilan Mieke Widjaya maupun Rima Melati, namun janda mendiang aktor ganteng Bambang Irawan itu amat berperan dalam mengawal kejayaan PT “Agora Film”. Perusahaan film populer yang bermakna “Arena Gotong Royong Artis” itu, pernah jadi dapur produksi film hari kemarin. Tak hanya deras mengalirkan produksi film, “Agora pun nama markas insan film yang turut membesarkan nama Bambang Irawan, Kusno Soedjarwadi, Has Manan, Pietradjaya Burnama hingga Widyawati.

Di tahun 1970-an, “Agora Film” pula identik dalam perwajahan film-film bersuhu panas. Itu memang tuntutan pasar. Widyawati pun pernah dibintangkan di film “Hidup, Tjinta dan Air Mata”, dengan penampilan “mendebarkan” penotonnya! Di luar peranan seperti itu, kesetiaan profesi Widyawati pun terpuji. Selepas jadi figuran film “Ja Mualim” (1966). kematangan akting mantan penyanyi pop Trio Visca” ini kian menjanjikan, saat (alm) Wim Umboh membintangkannya di film “Pengantin Remadja” (1970).

Belum terhitung lagi dengan sederet insan perfilman di balik layar, yang masih menunjukkan dedikasi tinggi. Memang harga “Lifetime Achievement Award” di FFB bernilai kehormatan sebagai pengakuan atas kesetiaan berprofesi. Sebaris saksi hidup dalam sejarah film negeri ini, akan sangat mengagungkan simbol anugerah itu! Siapa lagi insan perfilman nasional, yang dinilai layak menerima pengakuan kesetiaan profesi di FFB nanti? ***
(Habis)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *