GAPURANA SENI HIBURAN

Pengakuan FFB 2014 Untuk Rima Melati, Penerima Pertama Gelar Aktris Terbaik FFI

Sebuah adegan Rima Melati bersama (alm) Sofia WD, dan (alm) Rachmat Kartolo dalam ending lakon film “Noda Tak Berampun” (1970). Film karya (alm) Turino Junaedi ini merupakan lanjutan kisah film “Bernapas Dalam Lumpur”.  (Foto: Istimewa)
Sebuah adegan Rima Melati bersama (alm) Sofia WD, dan (alm) Rachmat Kartolo dalam ending lakon film “Noda Tak Berampun” (1970). Film karya (alm) Turino Junaedi ini merupakan lanjutan kisah film “Bernapas Dalam Lumpur”.
(Foto: Istimewa)

Pengakuan FFB 2014 Untuk Rima Melati: (Bag 2)

Oleh: Yoyo Dasriyo

MASIH saya ingat saat (alm) Dicky Zulkarnaen mengungkapkan penyesalan itu, dalam perbincangan di rumahnya. Waktu itu posisi “The Best” dimenangi (alm) Kusno Sudjarwadi (film “Perkawinan”). “Saya bener-bener nyesel tujuh turunan, ‘Yo! Permainan saya dinilai over… Gila, dialog lawan main saja, saya hafal semua!” kata aktor film, yang juga cucu Bupati Garut pertama (alm) R Soeria Kartalegawa, sejak berpindah dari Limbangan.

Penyesalan aktor berdarah ningrat Garut itu, berpuncak pada tekad “melamar” peluang film karya Asrul Sani kemudian. “Tanpa dibayar pun, saya rela main dalam film Pak Asrul lagi…” tegas aktor pelakon “Si Pitung” itu. Namun sampai akhir hayatnya, Dicky Zulkarnaen tidak menemukan peluang dalam peran sebagus “Hanafi”. Bisa dimaknai, betapa tinggi martabat bergelar “Best Actor/ Best Actrees” versi PWI Jaya Sie Film, sebelum dilebur ke dalam FFI.

Sukses Rima Melati dari film “Salah Asuhan”, mengungguli peringkat (alm) Fifi Young (film “Wadjah Seorang Pembunuh”), Mieke Widjaya (film“Akhir Tjinta di Atas Bukit”) dan Lenny Marlina (film “Teror Tengah Malam”). Baru tahun 1973, Rima (film “Takdir”) tergeser Fifi Young (film “Jembatan Merah”) ke kelas Aktris Harapan III, di bawah Christine Hakim (film “Cinta Pertama”). Tetapi, lagi-lagi Rima Melati menandai sejarah baru!

Ketika FFI (Festival Film Indonesia) dibangunkan dari tidur panjangnya, film “Intan Berduri” (alm Turino Junaedi) menuai gelar Aktor dan Aktris Terbaik untuk (alm) Benyamin S dan Rima Melati. Kejayaan di awal FFI 1973 itu, bernilai sukses ulang film garapan Turino Junaedi untuk Rima Melati, selepas “Noda Tak Berampun”. Tak salah lagi, Rima Melati pelaku sejarah pertama penerima gelar Aktris Terbaik, dalam dua versi festival film.

Kejayaan panjang Rima Melati yang berkalung reputasi gemilangnya, memang pembenaran dari kesungguhan dalam kesetiaan berprofesi. Sebaris film lainnya tercatat seperti, “Bengawan Solo”, “Jang Djatuh di Kaki Lelaki”, “Mama”. “Wajah Tiga Wajah Perempuan”, “Dosa Siapa”, “Tali Merah Perkawinan”, “Di Balik Kelambu”, “Saat-Saat Yang Indah”, “Merpati Tak Pernah Ingkar Janji”, “Galau Remaja di SMA”, “Kulihat Cinta Di Matanya”, “Kembang Kertas”, “Arini, Masih Ada Kereta Yang Lewat”, “Cintaku di Rumah Susun”, “Sesaat Dalam Pelukan”, serta “Ayah, Mengapa Aku Berbeda?”

Terbukti, sukses karier Rima Melati bukan sebatas putaran 1970-an. Sejumlah film yang dilakoninya sejak dekade 1980-an hingga kekinian, memanjangkan daftar prestasi Rima Melati. Aktris yang bermula dikenal sebagai penyanyi, lalu mendukung sukses grup “Baby Dolls”, bersama Baby Huwae, Gaby Mambo, dan Indriati Iskak (1960-an), berulangkali terjaring nominasi Aktris Pendukung Utama Terbaik di arena FFI. Nama Rima Melati membayangi perolehan Piala Citra.

Di FFI 1984, Rima masuk nominasi dari film “Kupu-Kupu Putih”, film “Tinggal Landas Buat Kekasih” (1985), “Pondok Cinta” (1986),“Biarkan Bulan Itu” (1987), “Arini, Masih Ada Kereta Yang Lewat” (1989), hingga nominasi penerima Piala Vidia dari FTV “Liontin” (1996). Nominasi Aktris Terbaik dihargainya dari FTV “Kado Istimewa” (1998), hingga bergelar “Best Supporting Actrees” Asia Pacific Film Festival 2005 (film “Ungu Violet”).

Sejumlah sinetron yang dibintanginya, tercatat judul “Cinta Tak Pernah Salah”, “Istana Impian”, “Mentari di Balik Awan”, “Kesucian Prasasti”, “Kabut Sutera Ungu”, “Wulan”, “Laba-Laba Cinta”, “Candy”, “Safira”, serta “Lia” Tetapi di balik prestasi cemerlang itu, Rima Melati pernah dua kali jadi juri, dalam FFI yang berkasus. Pertama, saat protes menghujam keputusan FFI 2006 yang memilih film “Ekskul”. Di FFI 2010, jadi anggota juri yang dipecat panitia, karena film “Sang Pencerah” yang tidak lolos seleksi, disertakan ke dalam penilaian.

Sungguhpun begitu, tak memudarkan harga legenda keartisan Rima Melati di dunia film Indonesia. Sebagai pelakon film di negeri ini, pamornya pun masih berdaya jual. Sangat realistis, saat FFB 2014 memilih Rima Melati sebagai penerima “Lifetime Achievement Award”. Penganugerahan lambang kesetiaan profesi itu, selayaknya dihargai. Terlebih, karena banyak insan film berdedikasi tinggi yang pernah berjaya dalam kariernya, berlalu dari percaturan artis film kekinian ***

(Selesai)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *