GAPURANA SENI HIBURAN

Festival Film Bandung 2014, Banyak Wajah Film Berkultur Jawa Barat

Festival Film Bandung 2014,  Bagian 2
Oleh: Yoyo Dasriyo

Kenangan perjumpaan Yoyo Dasriyo, Deddy Mizwar dan Suzanna Cecillia, di lokasi syuting film “Hamil Muda” garapan (alm) SA Karim (1977), di kawasan Parung. Film ini tercatat sebagai film ketiga, dalam karier Deddy Mizwar, yang kini berkapasitas Wakil Gubernur Jawa Barat. (Foto Dokumentasi Yoyo Dasriyo)
Kenangan perjumpaan Yoyo Dasriyo, Deddy Mizwar dan Suzanna Cecillia, di lokasi syuting film “Hamil Muda” garapan (alm) SA Karim (1977), di kawasan Parung. Film ini tercatat sebagai film ketiga, dalam karier Deddy Mizwar, yang kini berkapasitas Wakil Gubernur Jawa Barat.
(Foto Dokumentasi Yoyo Dasriyo)

Gapura Seleberita,- KEBERANIAN yang dibanggakan, ketika sutradara (alm) Alam Rengga Surawidjaya. mengemas film “Nji Ronggeng” (1970). Film yang menjual bintang (alm) Chitra Dewi, (alm) Dicky Zulkarnaen dan (alm) Sandy Suwardi itu, memuat kekayaan budaya Jawa Barat, seperti seni tradisi Kuda Renggong, Ujungan serta upacara pesta panen. Jelang Bandung jadi pribumi Festival Film Indonesia (FFI) 1976, film dengan legenda populer “Si Kabayan” digarap (alm) Bay Isbahi, yang membintangkan Lenny Marlina sebagai “Iteung”.

Memang, film komedi itu tak mampu mendongkrak figur “Kabayan” yang pas dengan sosok (alm) Kang Ibing. Tetapi tigabelas tahun kemudian, sukses besar film lokal itu ditebus film “Si Kabayan Saba Kota” (1989), dengan daya jual Paramitha Rusadi, Didi Petet serta (alm) Nike Ardilla. Sukses pasar film arahan H Maman Firmansyah itu, terdukung dengan gencarnya promosi. Ternyata lesu pasar film budaya daerah, tak hanya melumpuhkan film “Si Kabayan” (1976).

Nasib malang pun menindih film “Musang Berjanggut” (Sumatera Utara), meski didukung Roy Marten dan Rini S Bono. Film “Si Pahit Lidah” dari Sumatera Selatan, pahit pula dalam pencapaian tingkat komersialnya. Film kedaerahan lainnya tercatat “Sumpah Si Pahit Lidah” karya (alm) Dasri Yacob, yang membintangkan Camelia Malik, Advent Bangun dan Arthur Tobing. Lalu “Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat”, “Jeram Cinta” serta “Noesa Penida”.

Keragaman film bermuatan budaya lokal, memang terdukung dengan kebijakan pemerintah, yang menganjurkan setiap provinsi memproduksi film kedaerahan. Sebelum kebijakan itu, tahun 1982 lahir film “Halimun” karya (alm) Sofia WD, yang diangkat dari novel berbahasa Sunda “Sanggeus Halimun Peuray”. Film ini dibintangi Nungky Kusumastuty dan Alan Suryaningrat (Alan Nuary). Tahun 1983, lahir kembali film “Lutung Kasarung” versi baru, berpanor bintang Enny Beatrice.

Sukses besar film bermuatan budaya lokal, pernah menggetarkan pentas film nasional, saat film legenda “Sangkuriang” (1984) karya (alm) Sisworo Gautama mengusung “bintang panas” (alm) Suzanna. Kepopuleran legenda itu, lahir lagi dalam film “Tangkuban Perahu” (Liliek Sujio), yang menghadirkan Alan Nuary dan Marissa Haque, namun tidak sekuat pasar film sebelumnya. Banyak film berwarna local, meramaikan percaturan film nasional.

Tidak semua film budaya lokal sukses di pasar film, tetapi bisnis film bernuansa kedaerahan masih bergairah. Meski bukan produksi kerjasama Pemprov Jabar pun, hadir film “Prabu Siliwangi”, serta film “Sunan Gunung Jati”, dalam musim film kesejarahan. Tahun 1991, lahir film “Boss Carmad” karya (alm) Chaerul Umam, yang menuai kekayaan cerita Sunda. Bahkan, lakon film perjuangan bersuasana Jawa Barat, melegenda sepanjang perdagangan film kenangan revolusi.

Momentum Hari Film Nasional (30 Maret) pun, bertonggak dari awal syuting film “Darah Dan Doa” (“Long March”). Film berharga historis karya (alm) Usmar Usmail (1950) itu, memotret lakon hijrah pasukan Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Kultur Jawa Barat dalam perwajahan film perjuangan, terhitung banyak mengemuka. Kenang kembali sukses film “Toha Pahlawan Bandung Selatan” (1962) dan “Anak-Anak Revolusi” (1964) karya (alm) H Usmar Ismail

Lakon heorik berlatar alam Purwakarta, amat menawan dalam film “Perawan di Sektor Selatan” (1971) garapan (alm) Alam Rengga Surawidjaya. Sutradara bergelar spesialis film perang itu pula, pembuat film “Bandung Lautan Api” (1974). Sutradara film kampiun lainnya (alm) Nawi Ismail, sukses meramu lagi romantika hijrah pasukan Siliwangi di film “Mereka Kembali” (1972). Ingat juga Imam Tantowi, yang menghadirkan film “Lebak Membara” (1982).

(Bersambung)….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *