GAPURANA SENI HIBURAN

Festival Film Bandung 2014, Menegur Kembali Kesaksian Sejarah

Oleh: Yoyo Dasriyo

Dari kiri; Mentari Intan Nurachmi, Mieke Widjaya, Nia Zulkarnaen, Yoyo Dasriyo dan Arie Sihasale, selepas FFB 2011 di Hotel “Horizon” Bandung. Tiga tahun terakhir ini, malam puncak anugerah FFB digelar di pentas terbuka.  (Foto: Ridwan Martha)
Dari kiri; Mentari Intan Nurachmi, Mieke Widjaya, Nia Zulkarnaen, Yoyo Dasriyo dan Arie Sihasale, selepas FFB 2011 di Hotel “Horizon” Bandung. Tiga tahun terakhir ini, malam puncak anugerah FFB digelar di pentas terbuka.
(Foto: Ridwan Martha)

FESTIVAL Film Bandung kembali bergaung. Malam puncak anugerah FFB (Festival Film Bandung) 2014 itu, siap digelar Sabtu malam, (13/9) di Monumen Perjuangan Jawa Barat, Jl Dipati Ukur, Bandung. Sederet bintang kondang bertaburan, seperti Judika, Julia Perez, Gita Gutawa, Maudy Ayunda, maupun Cherrybelle .Tradisi tahunan “pesta budaya” insan film Jawa Barat ini, tercatat sebagai pergelaran ke-27.

Selama ini, keberadaan FFB senantiasa dipujikan. Tak hanya karena penilaian dan anugerah berharga “Terpuji” versi FFB, terbagi untuk pelaku film nasional, sinetron serta FTV. Lebih dari itu, FFB sukses menggelar tradisi tahunan itu, sejak 1987, tanpa pernah henti. Di saat industri film nasional padam, hingga pernah meruntuhkan arena Festival Film Indonesia (FFI), terbukti FFB tetap eksis dan konsisten dengan penilaiannya yang tersendiri.

Sukses kelangsungan FFB, sebenarnya menegur kepedulian Pemprov Jabar untuk menunjukkan kembali peransertanya dalam kancah perfilman nasional kekinian. Terlebih karena Jawa Barat pernah diposisikan sebagai kiblat industri perfilman nasional. Pengakuan bergengsi itu menguatkan kesaksian sejarah, tentang martabat Bandung yang membidani kelahirian film pertama negeri ini, dengan “Loetoeng Kasaroeng” (1926) karya G Kruger dan Heuveulman.

Kini kiblat perfilman nasional di Jawa Barat, sudah lama mengering. Bahkan, Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia, Edison Nainggolan pernah menegaskan dalam sarasehan perfilman di Bandung, bahwa konstribusi Jawa Barat pada era perfilman kekinian ketinggalan. Bisa dimaknai, kajian itu tantangan bagi kepemimpinan daerah Jawa Barat, yang harus disikapi dengan mengobarkan lagi api semangat Bandung, dalam menggosok pamor legendaris Bandung sebagai “kota kelahiran” perfilman nasional.

Ironis, di balik gebyar FFB yang banyak dipujikan, justru Bandung kehilangan kharismanya dalam percaturan film nasional. Ironi itu makin menebalkan tanya, manakala aktor film H Deddy Mizwar, jadi penerus jabatan Wakil Gubernur Jabar selepas H Dede Yusuf, yang sama berbasis dunia keartisan film. Harga kesejarahan Bandung dalam dunia film pun, hanya sekadar sebuah momentum kebanggaan peninggalan masa lampau.

Tetapi Bandung masih berpotensi untuk kembali berjaya, andai insan perfilman dan semua lapisan komponennya memiliki “ambisi kolektif”! Fakta historis dari kehadiran sejumlah film penguat citra Jawa Barat, selayaknya jadi kekuatan modal dalam menyalakan lagi semangat Bandung. Kekayaan budaya cerita lokal tanah Sunda selepas film “Loetoeng Kasaroeng”, termasuk lakon bertema perjuangan Jawa Barat, terurai panjang dalam daftar keejarahan film di negeri ini.

Kelahiran film budaya Jawa Barat seindah “Nji Ronggeng” di Sumedang (1970), merupakan wujud peranserta pemerintah dalam produksi DPFN (Dewan Pusat Film Nasional). Namun sejauh ini, kemungkinan daur-ulang film “Nji Ronggeng” dengan muatan kondisi baru, belum pernah dijajagi. Formula daur-ulang yang melahirkan film “Sang Penari”, dari film lama “Ronggeng Dukuh Paruk”. Film “Sang Penari” lalu bergelar “Film Terbaik” FFI 2011, sekaligus menjayakan Isfa Isfansyah (Sutradara Terbaik), dan Prisia Nasution (Aktris Terbaik).

Betapapun, mendamba penegakan lagi kiblat perfilman nasional di Bandung, jangan dibiarkan menuai tanya sebatas harapan. Musim subur film bermuatan budaya lokal Jawa Barat masa lampau, semoga jadi kekuatan motivasi untuk mewujudkan lagi kerjasama pemerintah dan swasta di bidang perwajahan film nasional.

Tentu, kapasitas Deddy Mizwar sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat, akan dipertaruhkan. Terlebih, karena jelang menjabat Wagub Jabar, aktor film ini pernah bertekad, untuk memajukan kembali perfilman di Jawa Barat.

Perjalanan sejarah perfilman nasional, mencatat kesuburan film bermuatan budaya lokal Jawa Barat. Kelahiran film “Loetoeng Kasaroeng” pun, bersambut film “Eulis Atjih”, “Karnadi Tangkap Bangkong” (1927), “Tukang Sado” (di Garut), “Bunga Ros Dari Tjikembang” (1930), “Tjioeng Wanara (1941) serta “Air Mata Mengalir di Tjitaroem” (1948) karya Rustam Palindih. Film ini momentum awal karier aktris legendaris (alm) Sofia WD, yang langsung berperan utama mendampingi (alm) Rd Endang. *** (Bersambung…)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *